Bijaksana Dalam Menggunakan Media Sosial

Roby Widjaja
28 min readNov 6, 2020

“Gosip atau isu negatif yang tidak benar tentang seseorang, dibuat oleh para haters, disebarluaskan oleh para orang bodoh, dan dipercayai oleh para orang yang kurang bijaksana”

Photo by Merakist on Unsplash

Dengan menulis artikel ini, saya tidak sedang mengatakan bahwa saya orang yang paling bijaksana dalam menggunakan media sosial di dunia ini.

Saya menulis artikel ini karena sesuai dengan aliran sastra saya, yaitu untuk membebaskan banyak pengguna media sosial saat ini yang mudah marah, mudah tersinggung, mudah sakit hati, dan mudah memenjarakan pengguna media sosial lainnya menggunakan gugatan hukum di pengadilan, dari belenggu — belenggu yang ada dalam hati dan pikirannya.

“Gosip atau isu negatif yang tidak benar tentang seseorang, dibuat oleh para haters, disebarluaskan oleh para orang bodoh, dan dipercayai oleh para orang yang kurang bijaksana” ( Tidak diketahui siapa orang yang pertama kali memperkatakan ini ). Apakah anda pernah mendengar perkataan ini ?

Pisau dapur sudah ada dan dipakai dalam peradaban manusia ribuan tahun sebelum media sosial ada di dunia ini. Pisau dapur bisa dipakai untuk memotong daging dan sayur di dapur, bunuh diri, dan membunuh orang lain. Apakah hanya karena pisau dapur bisa dipakai untuk bunuh diri dan membunuh orang lain, maka pisau dapur itu benda yang tidak baik dan tidak perlu ada di dunia ini ? Demikian juga media sosial.

Sifat dasar naluri alami manusia terhadap banyak hal dalam hidup manusia dan di dunia selalu sama dan tidak pernah berubah dari sejak jaman Kerajaan Julius Caesar dan Kerajaan — Kerajaan Cina kuno di daratan Cina sampai di jaman modern saat ini. Banyak hal dalam hidup manusia dan di dunia tersebut misalnya seperti harta atau kekayaan, kekuasaan atau tahta, seks, cinta, hubungan antar manusia ( persahabatan, percintaan, pernikahan, hubungan dagang atau bisnis, penguasa dan pemerintah dengan rakyatnya, dan sebagainya ), kesetiaan dan penghianatan, orang yang diidolakan dan orang yang dibenci, iri hati, kepercayaan ( termasuk agama ), ideologi, ketenaran, kesuksesan, dan lain sebagainya. Masalah fans dan haters yang dimiliki setiap orang di jaman modern saat ini juga sudah ada dari sejak jaman Kerajaan Julius Caesar dan Kerajaan — Kerajaan Cina kuno tersebut.

Saya sudah menggunakan internet sejak sekitar tahun 1992 di Indonesia. Menurut pendapat saya, media sosial pertama di dunia adalah Internet Relay Chat ( IRC ) dan Bulletin Board System ( BBS ). BBS itu mirip seperti majalah dinding online. Sama seperti Facebook, semua anggota sebuah BBS bisa saling mengirim pesan pribadi, mengunduh dan mengunggah konten digital untuk bisa diakses semua anggota BBS, dan mengomentari konten — konten yang sudah diunggah ke BBS secara terbuka. Perbedaan antara BBS dan Facebook, BBS hanya memiliki user interface berbasis teks saja dan fitur — fitur Facebook jauh lebih banyak dari BBS. IRC mirip seperti kumpulan banyak Facebook Group atau WhatsApp Group. Sebelum di Indonesia ada Internet Service Provider ( ISP ) komersial, saya mengakses Internet lewat sebuah BBS komersial di Indonesia. Tentu saja pada masa itu, semua media sosial modern seperti Friendster, MySpace, Facebook, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya belum ada di dunia ini.

Sebenarnya semua perilaku negatif netizen yang ada saat ini di media sosial modern, juga sudah ada dari sejak saya berinteraksi dengan netizen di seluruh dunia menggunakan IRC dan BBS tersebut. Perbedaan antara dahulu ( pada saat saya masih menggunakan IRC dan BBS ) dan sekarang ( pada saat sudah ada Facebook, Instagram, dan sebagainya ) hanya terletak pada profil pengguna media sosialnya saja. Pada masa saya menggunakan IRC dan BBS, profil penggunanya hanya kalangan computer nerds dan kelompok orang yang hobi bereksperimen dan mengeksplorasi komputernya. Pada masa itu pemakai komputer juga masih sedikit sekali dibandingkan saat ini. Pada masa itu, saya tidak pernah mendapatkan seorang pengguna IRC dan BBS pun yang digugat secara hukum di pengadilan atau ditangkap polisi hanya karena konten atau perkataan negatifnya di IRC dan BBS. Profil pengguna media sosial saat ini adalah semua kalangan, mulai dari pejabat tinggi pemerintah semua negara, artis, pengusaha, dan orang biasa. Baru pada masa ini, banyak netizen yang digugat secara hukum di pengadilan atau ditangkap polisi hanya gara — gara konten negatifnya atau perkataan negatifnya di media sosial.

Para pengguna IRC dan BBS dahulu hanya menggunakan fitur ban ( pada media sosial saat ini mirip seperti fitur block, restrict, atau mute) untuk mengatasi kenakalan penggunanya yang telah beberapa kali melanggar peraturan di chat room IRC atau BBS walaupun sudah ditegur para administratornya. Solusinya hanya sesederhana itu. Para pengguna media sosial masa itu, termasuk saya, juga tidak pernah merasa perlu ada Undang — Undang khusus, seperti UU ITE dan ujaran kebencian saat ini di Indonesia, yang dibuat oleh pemerintah.

Berdasarkan pengamatan saya pribadi sebagai pengguna media sosial dari sejak media sosial pertama di dunia ( IRC dan BBS ) sampai media sosial modern ( generasi Facebook, Instagram, YouTube, dan sejenisnya ), pengguna media sosial generasi pertama ( generasi pengguna IRC dan BBS ) ternyata jauh lebih toleran dan mudah memaafkan para netizen yang nakal dengan segala konten negatif yang dibuat oleh mereka.

Bagaimana dari sejak dulu sampai saat ini saya menggunakan media sosial dan menghadapi semua konten negatif tentang saya dan orang lain ?

Saya Sadar Bahwa Setiap Orang Pasti Memiliki Fans dan Haters

Dengan memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang hal ini, saya menjadi lebih santai dalam menghadapi para haters saya.

Anda percaya atau tidak dengan teori sosial ini ? Apabila ada seseorang yang merasa tidak punya haters satu orang pun di dunia ini, orang tersebut hanya sedang belum tahu siapa haters nya.

Seseorang bisa saja dengan sangat mudah memutuskan menjadi fans atau haters anda, dalam 1 detik pertama melihat ( melihat saja dan belum berkenalan ) anda di tempat — tempat umum seperti di sebuah restoran, coffee shop, pusat perbelanjaan, jalan raya, dan sebagainya atau melihat foto anda di profil media sosial anda. Keputusan menjadi fans atau haters anda itu bisa karena berbagai hal termasuk hal — hal kecil sederhana, seperti wajah anda, bentuk tubuh anda ( seperti para pelaku body shaming misalnya ), model pakaian yang sedang anda pakai, warna kulit anda, gaya berbicara anda, jenis mobil yang sedang anda pakai, dan sebagainya.

Dalam seminar — seminar salesmanship dan public speaking yang pernah saya ikuti dahulu, diajarkan bahwa kesan pertama yang diterima orang lain dari anda itu sangat penting dalam menentukan keberhasilan. Kesan pertama itu tentu saja bisa dengan mudah tercipta dari penampilan luar anda, mulai dari pakaian yang sedang anda pakai sampai suara anda ketika berbicara dengan orang itu.

Dalam ilmu matematika, dikenal deretan angka ( -n,...,0,…n ). Kalau kita menggunakan simbolisasi, deretan angka negatif ( -n ) adalah simbol tingkat kebencian seorang haters. Semakin besar angka n, semakin besar haters tersebut membenci anda. Deretan angka positif ( n ) adalah simbol tingkat menyukai atau nge-fans seorang fans. Semakin besar angka n, semakin besar fans itu menyukai anda. Dalam kasus Fans Vs Haters, sebenarnya tidak ada seorang pun di dunia ini yang benar — benar berada di titik 0 yang sempurna, alias netral kepada anda secara sempurna. Yang ada hanya ( -0,000000…1 ) atau ( +0,00000….1 ).

Apa gunanya menyadari dan mengetahui hal ini bagi saya ? Saya menjadi lebih santai dalam menjalani hidup saya. Saya selalu nyaman menjadi diri saya sendiri di mana pun saya berada, tidak merasa perlu untuk bermain drama dalam kehidupan saya, tanpa pernah peduli siapa yang akan menjadi fans atau haters saya, dan tanpa pernah peduli berapa jumlah fans atau haters saya.

Dalam hal memiliki Fans Vs Haters, perbedaan antara para figur publik terkenal ( seperti para Presiden sebuah negara, Artis atau Selebriti, Pengusaha kaya dan sukses, dan sebagainya ) dengan orang — orang biasa hanyalah pada jumlah fans dan haters nya. Semakin seseorang menjadi figur publik terkenal, semakin besar jumlah fans dan haters nya. Jangan memilih menjadi figur publik terkenal kalau tidak siap atau tidak mau memiliki haters dalam jumlah besar. Yang kedua, jangan memilih menjadi pacar atau suami/istri seorang figur publik terkenal kalau tidak siap atau tidak mau ikut dibenci para haters figur publik itu.

Dua kisah nyata di bawah ini bisa membantu kita untuk menjadi lebih santai dalam menghadapi para haters, seberapa pun jumlah haters kita. Dari sejak jaman Kerajaan Julius Caesar dan Kerajaan — Kerajaan Cina kuno sampai saat ini, hal ini masih berlaku, “Seberapa baik atau seberapa mulia pun anda dan yang anda lakukan selama hidup di dunia, pasti selalu ada yang tidak menyukai atau membenci anda”.

Mother Theresa adalah seorang biarawati gereja Katolik yang pernah tinggal di India dan melakukan pelayanan kemanusiaan di sana. Pelayanan yang ia lakukan di India adalah mengumpulkan orang — orang miskin dan berpenyakitan ( namun tidak mampu secara finansial untuk berobat sendiri ) dan merawat mereka, tanpa memandang suku, agama, ras, usia, dan jenis kelamin mereka. Misi pelayanannya adalah misi kemanusiaan, bukan penyebaran agama Katolik. Karena ada banyak orang India yang kemudian memutuskan untuk beragama Katolik karena melihat pelayanan Mother Theresa, ada beberapa Pendeta Tinggi Hindhu di sekitarnya yang akhirnya tidak suka dengan keberadaan Mother Theresa dan berusaha memenjarakan Mother Theresa menggunakan fitnah. Alasan sejati para Pendeta Tinggi Hindhu tersebut ingin memenjarakan Mother Theresa sebenarnya adalah karena kehilangan umat secara terus menerus setiap hari ( yang akhirnya mereka menjadi Katolik ).

Siddhartha Gautama yang dahulu sempat bertapa di hutan selama beberapa tahun untuk mencapai pencerahan juga sempat memiliki beberapa haters. Selama ia bertapa di hutan beberapa tahun, namanya semakin terkenal setiap hari. Banyak murid dari beberapa Bhiksu Buddha yang lebih senior ( usianya jauh lebih tua daripada Siddharta Gautama ) akhirnya memilih mengikuti dan menjadi murid Siddharta Gautama. Hal ini akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan para Bhiksu Buddha senior yang kehilangan para muridnya itu. Para Bhiksu Buddha senior itu pun akhirnya marah dan berusaha mencobai Siddhartha Gautama beberapa kali dengan berbagai pencobaan.

Dua kisah nyata itu pun juga mengandung sebuah moral of the story bahwa, kesuksesan apa pun di bidang apa pun yang berhasil anda capai, walaupun dicapai dengan cara — cara yang baik dan halal sekalipun, kesuksesan anda juga pasti akan menuai sejumlah haters dalam kehidupan anda.

Seandainya Saya Melihat Ada Konten Negatif Tentang Saya Di Media Sosial

Seandainya saya secara tidak sengaja melihat ada konten negatif tentang diri saya di media sosial atau komentar negatif pada akun — akun media sosial saya dari orang lain, saya hanya akan melihatnya sejenak, lalu melewatkannya ( skip ) begitu saja dengan dingin, dan kemudian langsung berganti melihat konten lain.

Mengapa saya bisa begitu santai dan dingin ketika melihatnya, sementara banyak orang lain bisa sampai saling menggugat di pengadilan atau berkelahi secara fisik hanya gara — gara konten atau komentar negatif di media sosial ?

Pertama, saya menganggap si pembuat konten negatif atau pemberi komentar negatif itu termasuk dalam golongan salah satu dari golongan anak kecil yang sedikit pengetahuannya tentang banyak hal, orang gila, orang kurang berpendidikan ( yang dimaksud adalah pendidikan formal dan informal, seperti tentang sopan santun dan etika sosial misalnya ), atau orang yang kurang beradab. Saya bukan malah marah atau bahkan benci kepada mereka, namun saya malah kasihan atau iba kepada mereka.

Kedua, karena saya menerapkan prinsip seperti yang ada pada gambar di bawah ini. Saya seringkali menghindari perdebatan panjang yang bodoh ( long stupid debates ) dengan banyak orang yang berbeda dalam beragam topik yang berbeda, karena prinsip ini. Termasuk ketika ada orang lain berkata — kata negatif tentang saya.

Sumber foto

Ketiga, kalau konten atau komentar negatifnya sudah sangat keterlaluan, paling maksimal saya hanya akan mengirim pesan pribadi ( Direct Message atau DM ), lalu menjelaskan hal yang benar, dan memintanya melakukan koreksi di akun media sosialnya. Atau, bisa juga saya yang membuat klarifikasi kebenarannya di akun — akun media sosial saya sendiri.

Keempat, saya tidak pernah dan tidak akan menggugat orang lain secara hukum di pengadilan dan memenjarakannya hanya karena konten atau komentar negatifnya tentang saya di media sosial. Mengapa ? Baca artikel ini sampai selesai !

Kelima, saya malah memilih menggunakan konten atau komentar negatif orang lain tentang saya itu sebagai filter lingkaran sosial saya. “Gosip atau isu negatif yang tidak benar tentang seseorang, dibuat oleh para haters, disebarluaskan oleh para orang bodoh, dan dipercayai oleh para orang yang kurang bijaksana”. Dengan saya membiarkan dengan dingin konten atau komentar negatif itu beredar bebas di media sosial cukup lama, sama saja saya sedang menyaring siapa saja yang termasuk kategori haters, orang bodoh, dan kurang bijaksana dalam lingkaran sosial saya.

Saya lebih memilih memiliki lingkaran sosial yang kecil tetapi sedikit atau tidak ada para haters ( atau haters yang sedang menyamar sebagai teman ), orang bodoh, dan orang kurang bijaksana di dalamnya, daripada saya memiliki lingkaran sosial yang besar tetapi malah banyak haters, orang bodoh, dan orang kurang bijaksana di dalamnya.

Para orang yang pandai tentu tidak mudah percaya 100% dan tidak mudah menyebarkan sebuah konten atau komentar negatif tentang seseorang dari orang lain di media sosial.

Para orang yang bijaksana tentu juga tidak akan langsung percaya begitu saja ketika melihat konten atau komentar negatif tentang teman atau saudaranya. Mereka pasti juga akan meminta konfirmasi kebenaran konten atau komentar negatif itu lewat pesan atau percakapan pribadi dengan teman atau saudaranya, sebelum mempercayai konten atau komentar negatif itu.

Seandainya Saya Melihat Ada Konten atau Komentar Negatif Tentang Orang Lain Di Media Sosial

Saya termasuk orang yang tidak mudah percaya 100% apa saja yang saya baca melalui media massa konvensional ( seperti TV, radio, surat kabar dan majalah tercetak fisik, dan sebagainya ) dan media sosial. Hal ini tentu saja berlaku ketika saya melihat ada konten atau komentar negatif tentang orang lain di media sosial.

Seandainya orang yang menjadi korban dari konten atau komentar negatif itu adalah orang yang saya kenal, saya pasti akan meminta konfirmasi kebenarannya dari orang yang saya kenal itu lewat pesan atau pembicaraan pribadi.

Tentu saja saya pasti tidak akan ikut menyebarkan ( share ) konten atau komentar negatif itu, sebelum dan sesudah saya meminta konfirmasi kebenarannya dari orang yang saya kenal itu. Karena kalau saya ikut menyebarkannya, sebelum saya meminta konfirmasi kebenarannya, saya berarti sudah termasuk dalam golongan orang bodoh dan orang kurang bijaksana. Sekalipun saya sudah mendapatkan konfirmasi bahwa konten atau komentar negatif itu benar dari si korban, saya juga tidak akan ikut menyebarkannya walaupun itu benar, karena saya sangat yakin setiap manusia itu selalu berubah dan mengalami evolusi seiring berjalannya waktu.

Saya Tidak Mudah dan Cepat Mempercayai Semua Konten di Media Massa dan Media Sosial

Konten berita di media massa apa pun di dunia ini diproduksi oleh para jurnalis dan dewan redaksi. Mereka semua adalah para manusia biasa yang juga mudah berbuat kesalahan dan tidak mempunyai fakta 100% secara lengkap tentang topik berita yang mereka produksi. Saya selalu berprinsip bahwa minimal ada 1% fakta yang tidak mereka ketahui tentang suatu hal yang mereka beritakan.

Saya juga tidak mudah dan tidak cepat mempercayai semua konten dan komentar negatif di media sosial tentang siapapun dan oleh siapapun juga di dunia ini. Prinsip saya sama tentang hal ini, yaitu para pengguna media sosial semua adalah para manusia biasa yang tidak mungkin mempunyai fakta yang 100% lengkap tentang apa yang sedang mereka bicarakan di media sosial. Pasti minimal ada 1% fakta yang tidak mereka ketahui tentang sesuatu atau seseorang yang sedang mereka bahas.

Untuk lebih memahami apa maksud saya dengan prinsip “…Pasti minimal ada 1% fakta yang tidak mereka ketahui tentang sesuatu atau seseorang yang sedang mereka bahas…”, bacalah beberapa contoh kasus di bawah ini.

Sumber foto
Sumber foto
Sumber foto

Contoh pertama. Ya, 3 foto di atas adalah foto Sang Pangeran William pada waktu dan tempat yang sama. Namun, 3 foto di atas diambil dari 3 sudut pandang kamera yang berbeda. Orang biasa saja, siapapun juga, harus selalu berusaha untuk menjaga sopan santunnya di masyarakat, apalagi seorang Pangeran sebuah Kerajaan. Bukankah begitu ?

Apabila kita hanya melihat foto pertama saja, terlihat bahwa Sang Pangeran William sedang menunjukkan jari tengahnya di publik. Dalam budaya Barat dan Asia, menunjukkan jari tengah seperti itu kepada orang lain atau publik, sama saja dengan sedang mengucapkan frase makian atau umpatan “Fuck You” secara lisan. Sikap menunjukkan jari tengah atau memperkatakan “Fuck You” secara lisan dinilai tidak sopan dan kasar dalam budaya Barat maupun Asia. Sebagian besar dari kita akan dengan mudah dan cepat menghakimi Sang Pangeran William dengan hanya berhenti melihat foto pertama saja. Mengapa demikian ?

Dalam banyak kasus dan kejadian di dunia ini, seringkali diperlukan waktu yang panjang, sumber daya manusia yang banyak dengan keahlian dan sudut pandang yang berbeda, sejumlah uang yang besar untuk mendanai biaya operasional penelitian atau investigasi, untuk mendapatkan “foto kedua dan ketiga Pangeran William di atas” ( ini adalah sebuah kiasan ). Dengan mendapatkan foto kedua dan ketiga, baru kemudian akhirnya kita bisa mulai mengerti apa yang sedang dilakukan Sang Pangeran William itu. Nah, pada tahap seperti ini, ketika foto kedua dan ketiga sudah diungkapkan, sebagian besar dari kita kemudian akan mulai berkata “Oh…jadi ternyata….”, “Oh…ternyata Si A itu yang jahat dan Si B yang baik, dulu saya kira Si A yang baik…”, “Oh…jadi begitu toh ceritanya…”, atau ekspresi lain sejenisnya.

Contoh kedua. Pernahkah anda membaca kisah nyata ini ? Ada seorang pemuda di Amerika Serikat yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Ia akhirnya dihukum penjara selama 30 tahun. Di tahun ke 20 menjalani masa penjara, akhirnya pemuda itu dibebaskan tanpa syarat oleh pengadilan yang sama, hanya karena para polisi akhirnya menemukan bukti — bukti tambahan yang membuktikan bahwa pemuda itu tidak bersalah dalam kasus itu. Walaupun pada akhirnya pemuda itu bebas di tahun ke 21 dan nama baiknya dipulihkan oleh pemerintah, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini, termasuk Presiden Amerika Serikat, yang bisa mengembalikan masa mudanya selama 20 tahun yang telah terbuang sia — sia di dalam penjara karena salah penghakiman.

Contoh ketiga. Pernahkan anda melihat gambar di bawah itu ? Apakah seorang nenek tua atau gadis cantik yang anda lihat pada gambar itu ? Sudut pandang yang berbeda dari seorang jurnalis atau pengguna media sosial dalam menceritakan sesuatu atau seseorang, bisa menyebabkan suatu kasus, kejadian, atau seseorang yang diceritakan mengalami pembiasan di level pertama. Ketika akhirnya berita atau konten itu kita lihat, seperti kita melihat gambar yang sama di bawah ini, sudut pandang yang berbeda dari setiap orang menyebabkan terjadinya pembiasan di level kedua. Dua level pembiasan juga seringkali terjadi pada semua konten dan komentar negatif dari para pengguna media sosial.

Sumber foto

Contoh keempat. Ini adalah sebuah kisah nyata, namun semua nama yang terlibat dalam kisah ini saya samarkan. Si A memberi pinjaman uang kepada Si B dan pinjaman itu diikat dengan dokumen tertulis. Si A dan Si B mengakui bahwa dokumen tertulis itu benar. Suatu hari Si A membuat konten negatif di akun — akun media sosialnya sendiri, yang intinya adalah mempermalukan Si B karena Si B tidak mau membayar hutang kepada Si A. Konten negatif itu pun dilengkapi bukti foto surat perjanjian hutang piutang antara Si A dan Si B. Bukankah kejadian ini di tahap ini mirip sekali dengan “foto pertama Sang Pangeran William di atas” ( kiasan ) ? Di tahap cerita ini, sebagian besar dari kita pasti akan dengan mudah dan cepat menghakimi bahwa Si B adalah orang yang tidak bertanggung jawab dan berkarakter buruk karena Si B tidak mau membayar hutang kepada Si A. Bukankah begitu ? Apa yang diungkapkan oleh Si A pada media sosialnya tentang Si B memang adalah fakta, tetapi masih belum 100% fakta lengkap.

Dalam kisah itu, ternyata ada Si C. Si C ternyata pernah memberikan ( pemberian hadiah dan bukan pinjaman atau investasi ) uang untuk Si B, dititipkan melalui Si A. Jadi Si A bukanlah pemilik sejati uang itu. Si A hanyalah “kurir” yang menerima titipan hadiah uang dari Si C untuk Si B. Tetapi karena Si A merasa bahwa Si B tidak tahu tentang titipan hadiah itu, Si A memberikan sejumlah uang yang sama dari Si C itu kepada Si B dalam bentuk pinjaman. Nah, bagian kedua dari kisah ini sama saja seperti pengungkapan “foto kedua dan ketiga Sang Pangeran William di atas” ( kiasan ). Bagaimana pendapat anda tentang Si A dan Si B setelah mengetahui keseluruhan kisahnya secara lengkap ?

Contoh kelima. Ini juga adalah sebuah kisah nyata, namun semua nama orang yang terlibat disamarkan. Si A ( wanita ) dan Si B ( pria ) mempunyai hubungan percintaan. Di tengah perjalanan hubungan cinta antara Si A dan Si B, Si A mendadak memutuskan hubungan dengan Si B. Si A kemudian juga membuat pengumuman di akun media sosialnya tentang putusnya hubungan tersebut. Tidak hanya itu, Si A juga mempublikasikan hal — hal buruk dari Si B yang menjadi alasan putusnya hubungan mereka berdua. Di tahap kisah ini, pasti sebagian besar dari kita akan mengatakan bahwa Si B adalah pria yang buruk atau bahkan jahat, bukankah begitu ?

Ternyata ada Si C ( pria ) dalam kisah mereka. Si C ternyata sudah lama ingin menikahi Si A. Bagi Si C, Si B adalah faktor penghalang hasratnya. Si C kemudian merusak citra Si B di depan Si A, agar Si A dan Si B segera putus hubungan. Si C bahkan dengan sengaja menciptakan bukti — bukti asli tapi palsu tentang Si B, untuk memperburuk citra Si B di depan Si A. Si C akhirnya berhasil menikahi Si A, dan Si A pun sampai saat ini merasa bahwa Si C adalah Sang Pahlawan dalam hidupnya yang telah menyelamatkan Si A dari Si B. Bagaimanakah pendapat kita tentang Si A dan Si B, apabila kita sudah melihat “foto kedua dan ketiga Sang Pangeran William” ( kiasan ) ini ?

Contoh keenam. Pernahkah anda mendengar tentang modus penipuan yang sudah terjadi di banyak kota dan negara ini ? Modusnya selalu sama dan sering berhasil. Seseorang sedang naik sepeda atau sepeda motor. Orang tersebut kemudian mendekati sebuah mobil dan menjatuhkan dirinya sendiri di dekat mobil itu, seolah — olah orang itu telah ditabrak oleh mobil itu. Tidak lama setelah itu pasti datang seorang Polisi ( bisa seorang Polisi gadungan atau petugas Polisi resmi yang bekerja sama dengan si pengendara sepeda atau sepeda motor itu ) di tempat kejadian. Tujuan pengendara sepeda atau sepeda motor itu melakukannya adalah untuk memeras sejumlah uang dari si pengendara mobil. Bagi orang — orang di sekitar tempat kejadian itu, pasti dengan mudah dan cepat menghakimi bahwa si pengendara mobil yang bersalah karena telah menabrak si pengendara sepeda atau sepeda motor sampai jatuh. Bukankah begitu yang sering terjadi di masyarakat ? Penghakiman berbeda akan dilakukan oleh segelintir orang yang sempat melihat rekaman video kejadian itu, dari sudut pandang kamera yang tepat, secara slow motion.

Contoh ketujuh. Sama seperti foto Sang Pangeran William yang pertama itu. Para haters juga biasanya suka dan dengan mudah menggunakan foto — foto anda yang mudah menimbulkan salah paham di publik, potongan singkat dari seluruh kisah hidup anda yang dimanipulasi dan diberi banyak bumbu cerita yang negatif, video singkat anda yang sedang berada di tempat umum ( Contoh, video singkat dari Si A yang sedang mendorong tubuh Si B di jalan raya sampai jatuh. Kalau video ini diambil dari sudut pandang kamera tertentu saja dengan durasi tertentu, sangat masuk akal bahwa Si A nampak bermaksud jahat mencelakakan Si B. Namun bagi yang melihat keseluruhan kejadiannya dari banyak sudut pandang yang berbeda, sebenarnya Si A bermaksud menyelamatkan Si B dari mobil yang hampir menabrak Si B. ) yang diberi keterangan — keterangan palsu yang negatif, potongan perkataan anda di media sosial yang dipergunakan dalam konteks berbeda dan ditambah keterangan — keterangan yang negatif, dan sebagainya untuk menjatuhkan anda di publik.

Saya Tidak Pernah dan Tidak Akan Menggugat Seseorang Secara Hukum di Pengadilan

Beberapa tahun ini saya sering melihat kasus figur publik terkenal Indonesia yang menggugat para netizen secara hukum di pengadilan dan memenjarakannya. Menurut pendapat saya pribadi, apa yang dilakukan para figur publik terkenal itu adalah sebuah kesalahan besar. Mengapa demikian ? Bacalah artikel ini sampai selesai.

Saya tidak pernah dan tidak akan menggugat seseorang secara hukum di pengadilan dalam kasus apa pun juga, apalagi hanya karena kasus konten atau komentar negatifnya di media sosial.

Mengapa demikian ?

Alasan pertama. Walaupun saya seorang keturunan Cina secara biologis, saya banyak juga mempelajari dan mengadopsi budaya dan filosofi Jawa kuno. Hal ini dikarenakan saya dilahirkan dan dibesarkan di Pulau Jawa.

Salah satu filosofi Jawa kuno yang saya adopsi sebagai prinsip hidup saya adalah “Menang tanpa ngasorake” ( dalam bahasa Jawa ). Dalam bahasa Indonesia, filosofi Jawa kuno itu bisa diartikan sebagai “Memenangkan suatu kasus, kompetisi, persaingan, masalah, atau perang tanpa menjatuhkan, menghancurkan, atau mempermalukan pihak lawan”.

Dengan saya menggugat seorang haters secara hukum di pengadilan dan memenjarakannya, sama saja saya telah menang dalam kasus itu dengan cara menjatuhkannya, menghancurkannya, atau mempermalukannya. Saya sadar, bahwa dengan saya menang di kasus gugatan itu, secara jangka pendek saya memang menang, tetapi bisa saja secara jangka panjang saya kalah. Mengapa demikian ? Haters yang dipenjara itu, teman dan keluarganya, atau para haters lain yang satu aliran dengannya mungkin bisa saja menjadi dendam kepada saya secara berkepanjangan. Hidup dalam penjara bisa saja membuat seseorang menjadi jera dan bertobat, namun bisa juga sebaliknya, malah membuat orang itu menjadi semakin buruk dalam segala hal, termasuk menyimpan dendam kepada orang yang telah memenjarakannya.

Ibarat dalam sebuah peperangan, saya lebih baik kalah dalam beberapa pertempuran, tetapi saya menang dalam perang secara keseluruhan.

Ibarat bermain catur, saya lebih baik membiarkan beberapa bidak catur hilang dimakan lawan sebagai umpan di beberapa langkah pertama saya, tetapi saya menang di akhir permainan catur.

Alasan kedua. Saya belajar banyak dari sebuah buku yang kurang lebih berjudul ( saya lupa judul buku itu secara tepatnya ) “Letters from a Businessman to His Son”. Buku itu adalah kisah nyata yang berisi kumpulan surat dari seorang ayah kepada anaknya. Sang ayah adalah seorang pengusaha sukses, kaya, dan terkenal. Nama asli sang ayah dan anak memang disamarkan dalam buku itu, tetapi sang ayah dan anaknya itu adalah tokoh nyata, bukan fiksi. Menurut analisa saya, Sang ayah dan anak itu tinggal di Amerika Serikat atau Eropa.

Sang Ayah menulis surat — surat itu untuk anaknya dengan tujuan ingin mendidik anaknya tentang semua aspek dalam kehidupan, seperti bekerja dan bisnis, persahabatan, mengelola uang, cinta, seks, pernikahan, dan sebagainya.

Salah satu surat sang ayah kepada anaknya itu adalah membahas mengenai “Menggugat orang lain secara hukum di pengadilan”. Sang ayah mengajarkan kepada sang anak agar semaksimal mungkin tidak menggugat orang lain secara hukum di pengadilan dalam perkara apa pun juga. Sang ayah menjelaskan bahwa di banyak kasus di pengadilan di berbagai negara, sang pemenang adalah selalu pihak yang kuat secara finansial ( misalnya mampu membayar jasa tim pengacara terbaik ) dan non-finansial ( misalnya mempunyai hubungan dekat dengan para pejabat tinggi pemerintah ), bukan pihak yang benar.

Sang Ayah juga menjelaskan, bahwa pada banyak kasus di pengadilan di banyak negara pada akhirnya pihak yang menang dan yang kalah sama — sama rugi, karena sudah sama — sama mengeluarkan uang banyak, waktu dan perhatian banyak, dan energi yang banyak selama proses pengadilan berlangsung. Intinya ( kesimpulan saya sendiri ), Sang ayah berusaha mengatakan kepada sang anak bahwa sekalipun seseorang menang dalam sebuah gugatan hukum di pengadilan, itu sama saja seperti sebuah filosofi Jawa kuno ini “Sing menang entuk areng, sing kalah entuk awu”. Artinya, baik pihak yang menang maupun yang kalah, sama — sama menderita kerugian dan sama — sama hanya mendapatkan reruntuhan.

Sang Ayah juga menyarankan kepada anaknya dalam surat itu agar menyelesaikan setiap masalah dengan orang lain secara kekeluargaan, kepala dingin, dan WIN-WIN solution. Sang Ayah mengatakan kepada anaknya bahwa pihak yang paling diuntungkan dalam semua kasus gugatan hukum di pengadilan di negara mana pun adalah para pengacara kedua belah pihak. Sang Ayah juga berkata bahwa rasa puas dalam hati seseorang yang didapatkan dari kemenangan gugatan hukum di pengadilan hanya akan bertahan dalam jangka waktu singkat.

“Saya lebih menyukai berperang melawan musuh — musuh saya dengan cara mengkonversi musuh menjadi kawan saya” ( Abraham Lincoln )

Alasan Ketiga. Bagi saya, peace of mind lebih penting daripada menghajar para haters saya dengan menggugat mereka secara hukum satu persatu dan memenjarakan mereka.

Mari kita berhitung sedikit. Sampai di usia saya yang 43 tahun saat ini, sudah ada ratusan kali oleh ratusan orang yang berbeda yang berbuat kesalahan kepada saya selama ini dalam hal apa pun. Kita semua sama — sama tahu bahwa untuk setiap satu kasus gugatan hukum bisa saja berhenti di tingkat Pengadilan Negeri saja, namun bisa saja berlanjut sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Secara rata — rata, kalau kita ingin memastikan suatu kemenangan dalam gugatan hukum di pengadilan, kita harus menunggu proses pengadilan selesai selama 2 tahun dan mengeluarkan uang sebesar Rp 5 milyar yang mayoritas untuk membayar jasa tim pengacara terbaik.

Artinya, selama 2 tahun menunggu proses pengadilan selesai, pikiran saya setiap hari menjadi terganggu, hati saya menyimpan kemarahan dan kegeraman kepada tergugat setiap hari, konsentrasi saya untuk bekerja dan kehidupan pribadi saya setiap hari juga terganggu. Apakah enak, hati dan pikiran kita selama 2 tahun setiap hari seperti itu, hanya untuk menjebloskan seorang haters ke penjara, hanya karena konten atau komentar negatifnya ?

Kalau saya pernah 100 kali menggugat 100 orang yang berbeda secara hukum di pengadilan, berarti saya sudah menghabiskan Rp 5 milyar x 100 kasus selama ini, yang sama dengan Rp 500 milyar. Saya juga berarti telah menghabiskan waktu 2 tahun x 100 kasus ( beberapa kasus bisa saja berjalan bersamaan secara paralel ), yang artinya setiap hari seumur hidup saya kehilangan peace of mind saya. Yang saya dapatkan di setiap kemenangan kasus gugatan hukum saya hanya rasa puas sesaat karena berhasil menghajar seorang haters saya.

Saya lebih memilih menggunakan uang sebesar Rp 500 milyar itu untuk mencintai diri saya sendiri, modal bisnis, membangun ekonomi keluarga saya, merealisasikan mimpi — mimpi dan visi pribadi saya, dan membantu orang lain ( berdonasi ), daripada hanya dihabiskan untuk membayar jasa para pengacara dalam berbagai kasus gugatan hukum.

Black Campaign Yang Dilakukan Para Haters Bisa Menguntungkan Kita

Berbagai penyebaran konten dan komentar negatif dari para haters kepada seseorang bisa dikategorikan sebagai Black Campaign.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang Public Relation, dalam buku itu sempat dinyatakan bahwa Black Campaign yang dilakukan oleh para haters ( untuk para figur publik ) atau para pesaing bisnis ( untuk para perusahaan ) dengan tujuan untuk menjatuhkan reputasi seseorang atau sebuah perusahaan di publik, sebenarnya bisa ditunggangi Si Korban dari Black Campaign tersebut untuk diubah menjadi menguntungkan diri si Korban.

Disarankan pula dalam buku itu, bahwa para pelaku Black Campaign sebaiknya jangan digugat secara hukum di pengadilan. Biarkan saja badai Black Campaign itu terjadi selama beberapa saat atas biaya yang ditanggung oleh para haters atau pesaing bisnis itu sendiri. Selama proses Black Campaign itu terjadi, minimal ada satu keuntungan yang diperoleh si Korban, yaitu Brand Awareness Si Korban di publik menjadi meningkat. Orang — orang yang asalnya tidak pernah tahu bahwa Si Korban itu ada, mereka menjadi tahu bahwa Si Korban itu ternyata ada.

Black Campaign biasanya menyebar jauh lebih cepat dan luas dengan biaya jauh lebih rendah daripada White Campaign ( yaitu menyebarkan hal — hal baik atau positif dari suatu Brand atau seorang Figur Publik ). Mengapa demikian ? Hal ini juga termasuk salah satu sifat dasar naluri alami manusia yang tidak pernah berubah dan selalu sama dari sejak jaman Kerajaan Julius Caesar dan Kerajaan — Kerajaan Cina kuno. Mayoritas manusia cenderung lebih suka mencari, mengkonsumsi, dan menyebarkan secara sukarela ( gratis ) berita, konten, atau informasi buruk tentang seseorang atau sesuatu.

Zhuge Liang dan Sun Tzu , dua tokoh Ahli Strategi Perang terkenal di jaman Kerajaan — Kerajaan Cina kuno, juga mengajarkan beberapa kali menggunakan kabar buruk palsu untuk melemahkan moral para tentara lawan sebelum berperang, membatalkan serangan pasukan lawan ke sebuah kota yang pertahanannya terlalu lemah, menghasut para Jenderal Perang lawan yang tangguh atau cerdas agar membelot dan menjadi Jenderal Perang pihaknya, memenangkan sebuah pertempuran, dan sebagainya.

Hal ini juga termasuk dalam sifat dasar naluri alami manusia yang tidak pernah berubah dan selalu sama dari sejak jaman Kerajaan Julius Caesar dan Kerajaan — Kerajaan Cina kuno. X% dari para haters selalu mungkin tiba — tiba malah berubah menjadi seorang fans. Seringkali, ketika seorang haters berbalik arah menjadi seorang fans, ia malah menjadi seorang fans fanatik orang yang pernah dibencinya.

Ada sebuah kisah dari jaman Kerajaan — Kerajaan Cina kuno. Pada waktu itu daratan Cina masih terbagi dalam beberapa Kerajaan kecil. Raja A mempunyai seorang selir yang cantik bernama Si B. Raja A sangat ingin menaklukkan Kerajaan Raja C. Raja A sangat menyadari bahwa ia tidak mungkin bisa menaklukkan Kerajaan Raja C secara militer, karena kekuatan militer Kerajaan Raja C jauh lebih kuat daripada kekuatan militer Kerajaan Raja A. Raja A kemudian menemukan sebuah kelemahan pada Raja C, yaitu Raja C terlalu menyukai para wanita cantik untuk dijadikan selir — selirnya. Raja A lalu menyusupkan selirnya Si B ke istana Raja C, untuk menjadi selir Raja C, dengan misi untuk melemahkan Kerajaan Raja C. Si B memang pada akhirnya berhasil menjadi selir kesayangan Raja C. Namun pada akhirnya, Si B malah menjadi sangat mencintai Raja C. Si B pada akhirnya malah memihak Raja C sepenuh hati, dan membantu Raja C menaklukkan Raja A.

Pada Alkitab Katolik dan Kristen ada sebuah kisah tentang seorang tokoh bernama Saulus. Saulus pada awalnya sangat membenci para murid dan pengikut Yesus Kristus. Saulus memburu, menangkap, dan bahkan membunuh para pengikut Yesus Kristus. Karena suatu kejadian, pada akhirnya Saulus malah berbalik arah, ia malah memutuskan menjadi salah satu pengikut Yesus Kristus yang fanatik. Saulus akhirnya berubah nama menjadi Rasul Paulus, yang kemudian menjadi sangat agresif melakukan penyebaran injil Yesus Kristus.

Dalam dunia industri Entertainment, tingkat ketenaran atau popularitas seorang Artis ( Artis Film, Penyanyi, Model, dan lainnya ) itu berbanding lurus dengan tingkat penghasilannya. Para produser film seringkali memakai seorang artis film yang sudah terkenal walaupun dengan bayaran mahal dalam film — film yang diproduksinya, untuk menarik para penonton film sebanyak mungkin. Para perusahaan pemilik brands juga seringkali memakai para artis yang sudah terkenal pada iklan — iklannya, dengan harapan wajah para artis terkenal tersebut bisa menarik perhatian audiens sebanyak mungkin dan konten iklannya mudah diingat oleh para audiens iklan tersebut.

Dalam dunia politik, tingkat ketenaran atau popularitas seorang tokoh politik juga berbanding lurus dengan besarnya kemungkinan tokoh politik itu memenangkan suara terbanyak dari para pemilih dalam suatu pemilihan umum.

Para figur publik atau siapa pun juga sebenarnya hanya perlu bermain cantik menghadapi semua Black Campaign dari para Haters nya, agar malah diuntungkan dengan adanya semua Black Campaign itu. Bukan malah menghajar para haters nya itu dengan gugatan hukum di pengadilan dan memenjarakan mereka, yang pada akhirnya malah mungkin bisa menuai dendam dan para haters baru.

Jangan Menampilkan Hidup Anda Nampak Sempurna Di Publik

Tidak ada manusia di dunia ini yang hidupnya sempurna, bukankah begitu ?

Adalah sebuah kesalahan besar apabila ada banyak figur publik terkenal dan orang biasa yang berusaha sedemikian rupa menampilkan kehidupannya nampak sempurna di publik melalui media sosial.

Saya pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang konsultan Image dan Public Relation yang pernah menjadi konsultan beberapa figur publik terkenal tingkat internasional ( seperti para politisi dan selebriti di Amerika Serikat dan Eropa ).

Ia menulis bahwa ketika seorang figur publik berusaha menampilkan kehidupan pribadinya nampak sempurna di publik, figur publik itu malah justru akan menuai lebih banyak haters baru daripada fans baru. Mengapa demikian ?

Secara psikologis, salah satu hal yang mendorong seseorang menjadi haters dari seorang figur publik adalah rasa iri hati terhadap kehidupan figur publik yang nampak sempurna itu.

Konsultan sekaligus penulis buku itu sering menyarankan para klien nya agar juga memperlihatkan sedikit sisi tidak enak dalam hidupnya, sisi gelap dalam kehidupannya yang pernah dilaluinya, kegagalan — kegagalan dalam hidupnya, pengalaman — pengalaman buruk yang pernah dialami dalam hidupnya, kelemahan — kelemahan karakternya, dan sebagainya, sehingga para klien nya bisa tampil di publik se-manusiawi mungkin, bukan malah menampilkan diri di publik sesempurna mungkin seperti tokoh khayalan fiksi yang hanya ada dalam dongeng — dongeng fiksi belaka.

Sebagai contoh, apabila anda pernah atau sedang kecanduan narkoba, tampilkan di publik dengan jujur dan terbuka bahwa anda pernah atau sedang mempunyai masalah itu.

Contoh lain, apabila anda pernah atau sedang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) dari anggota keluarga yang lain, hal itu juga bisa ditampilkan di publik sejujur mungkin.

Contoh terakhir, kalau anda pernah mengalami kegagalan — kegagalan dalam percintaan, pekerjaan atau bisnis, pernikahan, studi, dan sebagainya, kegagalan — kegagalan itu juga bisa diceritakan di publik sejujur mungkin.

Ini sebuah kisah nyata, tetapi nama asli tokoh figur publik dalam kisah ini sengaja saya samarkan untuk kebaikan si figur publik. Beberapa tahun lalu, ada seorang Presiden ( pria ) salah satu negara superpower yang melakukan skandal seks dengan sekretarisnya ( wanita ) sendiri. Rakyat di negaranya mengetahui bahwa sekretarisnya pernah melakukan seks oral kepada Sang Presiden di dalam ruang kantor pribadi Presiden dalam istana Presiden. Sang Presiden sebenarnya sangat mampu untuk menutup rapat mulut sekretarisnya itu atau meminta sekretarisnya menyangkal adanya skandal seks itu. Sang Presiden akhirnya mengakui dengan jujur di depan publik tentang kebenaran skandal seks itu, walaupun pada akhirnya pengakuan jujur itu berakibat ia kehilangan jabatannya sebagai Presiden karena impeachment. Sang Istri Presiden pun bermain cantik dengan membela dan menyelamatkan Sang Suami di depan publik, dan menyampaikan di depan publik bahwa ia telah memaafkan kesalahan suaminya, Sang Presiden, dalam skandal seks itu. Sang Presiden memang pada akhirnya kehilangan jabatannya sebagai Presiden, namun kejujurannya mengakui skandal seks itu telah menyelamatkan reputasi Negara dan keluarganya sendiri. Istri Sang Presiden akhirnya beberapa kali mencoba mencalonkan diri menjadi Presiden di negara itu. Setelah kehilangan jabatannya, Sang Presiden dan Istrinya itu malah mendapatkan banyak fans baru, karena para fans baru itu menghargai kejujuran Sang Presiden mengakui skandal seks itu di depan publik.

Ini juga adalah sebuah kisah nyata, namun nama asli tokoh figur publik dalam kisah ini sengaja saya samarkan untuk kebaikan sang figur publik. Seorang Presiden ( pria ) salah satu negara superpower memiliki kehidupan seks yang nakal dan liar saat ia masih mahasiswa. Saya pun pernah kenal salah satu teman kampus Sang Presiden dan berbicara santai secara singkat tentang banyak hal. Saat masih mahasiswa, Sang Presiden sering ikut orgy party ( sebuah pesta seks, dimana semua pria dan wanita yang hadir pada pesta itu harus telanjang bulat di ruangan pesta. Biasanya setiap peserta orgy party melakukan hubungan seks beberapa kali selama pesta dan berganti pasangan setiap kalinya. ). Lawan politik Sang Presiden menggunakan kisah kehidupan seks yang nakal dan liar Sang Presiden semasa masih mahasiswa itu untuk menjatuhkan reputasi Sang Presiden. Singkat cerita, Sang Presiden ternyata pandai bermain cantik menangkis setiap serangan dari lawan politiknya. Sang Presiden pun akhirnya sempat mengakui dengan jujur kebenaran kehidupan seks nya yang nakal dan liar semasa ia masih masih mahasiswa itu, dalam suatu perbincangan dengan seorang jurnalis. Kejujuran Sang Presiden mengakuinya bukan malah menjatuhkan Sang Presiden, Sang Presiden malah akhirnya semakin kuat karena mendapatkan para fans baru yang menghargai kejujurannya itu. Akhirnya, Sang Presiden malah masih menang pemilihan umum di periode berikutnya dan menjadi Presiden untuk kedua kalinya. Tentu saja, Sang Presiden sangat mampu untuk menutup rapat kisah kenakalan di masa mahasiswanya dengan berbagai cara, namun Sang Presiden ternyata lebih memilih menampakkan diri se-manusiawi mungkin di depan publik.

Ternyata, dari sejak jaman Kerajaan Julius Caesar dan Kerajaan — Kerajaan Kuno di Cina sampai jaman modern ini, prinsip “Honesty is the best policy” masih tetap baik, relevan, dan ampuh untuk diterapkan oleh para figur publik dan orang biasa yang sedang membangun personal brands nya.

Dengan menampilkan diri se-manusiawi mungkin, bukan se-sempurna mungkin, para figur publik minimal akan mendapatkan dua manfaat langsung. Yang pertama, para figur publik akan mendapatkan para fans baru yang memutuskan menjadi fans karena ada ikatan emosional dan perasaaan senasib ( atas kekerasan dalam rumah tangga yang pernah dialami atau kegagalan yang sama misalnya ). Manfaat kedua, potensi mendapatkan haters baru karena faktor iri hati menjadi berkurang drastis.

Menampilkan diri se-manusiawi mungkin di publik tentu berbeda jauh dengan mengumbar aib pribadi di publik. Bedakan dua hal itu dengan baik !

Renungan…

Hidup bukanlah untuk cari gara — gara dengan orang lain dan bukan untuk meladeni setiap orang lain yang cari gara — gara dengan kita.

Saya adalah salah satu fans dari AgnezMo dan Bill Gates. Saya mengamati bahwa kedua figur publik ini sangat pandai bermain cantik dalam memanajemen haters mereka dan Black Campaign dari para haters nya. Selama ini, saya tidak pernah melihat kedua tokoh ini menggugat secara hukum di pengadilan dan memenjarakan salah satu haters mereka.

Tentang AgnezMo, saya sudah mengamati perkembangan karirnya dari Sang Diva masih anak — anak sampai saat ini yang sudah menjadi penyanyi kelas internasional. Beberapa tahun lalu, ketika AgnezMo masih remaja, saya pernah menemukan sebuah Yahoo Group yang bernama “Para Pembenci Agnes Monica”. Yahoo Group itu mempunyai anggota sekitar 3,000 orang lebih pada saat itu. Saya sempat mengintip isi Yahoo Group itu selama beberapa minggu. Isi Yahoo Group itu antara lain komentar — komentar negatif dan hujatan tentang AgnezMo, foto — foto AgnezMo yang diedit dan ditambahi tulisan — tulisan yang negatif, lagu — lagu AgnezMo yang liriknya diplesetkan dengan perkataan — perkataan negatif, dan sejenisnya.

Begitu juga dengan Bill Gates, saya juga pernah menemukan sebuah Yahoo Group yang bernama “Bill Gates Haters”. Jumlah anggota Yahoo Group itu dulu mencapai lebih dari 10,000 orang. Isi Yahoo Group “Bill Gates Haters” ini kurang lebih sama dengan isi Yahoo Group “Para Pembenci Agnes Monica”, hanya beda korban saja.

Sumber foto
Sumber foto

“Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu”

[ Alkitab Katolik atau Kristen, Lukas 6:27b ]

Setiap orang pasti punya haters, yang berbeda pada tiap orang hanya jumlah haters nya. Mari kita mengasihi para haters kita semua, tetapi melakukannya dengan secerdik ular setulus merpati.

Artikel ini ditulis oleh Roby Widjaja,

Yang adalah Seorang Pemikir dan Sastrawan Jalanan,

Yang belajar ilmu Filsafat dan Seni Sastra secara otodidak dari berbagai sumber dan cara.

Spesialis dan Pembuat Strategi Pemasaran Digital, Pengembang situs web dan aplikasi berbasis web, Pengembang Aplikasi Ponsel Cerdas, Spesialis Optimasi Mesin Pencarian, Spesialis Manajemen Iklan Digital, Spesialis Manajemen Akun Media Sosial, Kreator Konten Digital, Seniman Digital, Penulis Lepas Mandiri, Desainer Grafis, Videografer dan Editor Video, Kreator Animasi 2D/3D, Pengembang Perangkat Lunak Komputer, Ilmuwan, Pemikir, dan Wirausahawan.

Pemilik 100% Saham, Pendiri, dan Direktur Utama dari iMarketology dan Arts-of-Life. Baik iMarketology maupun Arts-of-Life belum dibuat badan hukumnya secara legal dimanapun juga di dunia ini.

Social Media: Instagram | Twitter | Facebook | Facebook Page | Linkedin

Wattpad | Professor JavaScript | Profesor Robium

--

--

Roby Widjaja

An Independent Writer. A Thinker. 100% Shareowner, Founder, and CEO of www.imarketology.net and www.arts-of-life.com ( It’s still in development phase ).