It’s a
[ Roby Widjaja Tells a Story About Roby Widjaja ]
Story — Part 2
Read also: It’s a [ Roby Widjaja Tells a Story About Roby Widjaja ] Story — Part 1
Baca juga: It’s a [ Roby Widjaja Tells a Story About Roby Widjaja ] Story — Part 1
Roby Widjaja and His First Startup Company
Roby Widjaja dan Perusahaan Rintisannya yang Pertama
Just about two months after Roby Widjaja was graduated from University in the year 1999, he founded his first startup company legally in Indonesia with his three friends who studied in the same university with him. The startup company developed its Enterprise Resource Planning ( E.R.P ) computer software and marketed it to local medium size companies in Indonesia.
Hanya sekitar dua bulan setelah Roby Widjaja lulus dari pendidikan S-1 universitas di tahun 1999, ia mendirikan perusahaan rintisan pertamanya secara legal di Indonesia bersama tiga teman kuliahnya. Perusahaan rintisan tersebut mengembangkan perangkat lunak komputer Enterprise Resource Planning ( E.R.P ) miliknya sendiri dan memasarkannya ke perusahaan — perusahaan lokal di Indonesia berskala menengah.
Passions, ambitions, Steve Jobs and Bill Gates as his role models and idols, and hobby were in his blood when he founded, nurtured and grew that startup company, P.T. Adi Citra Teknologi Semesta ( P.T. ACTS ), with his three co-founders. He invested his 100% cash, from his 7 years saving, as equity capital for about 60% shares of the company. Not just money, he also has invested his whole personal life in it, his 10 to 15 hours a day daily including weekend and holiday building this company, his name and reputation, his friends and colleagues, …almost everything that he had at that time, the intangible and tangible ones.
Kesukaan — kesukaan, ambisi — ambisi, Steve Jobs and Bill Gates sebagai panutan hidup pribadinya dan idolanya, dan hobi mengalir di dalam darahnya ketika ia mendirikan, menumbuhkan, dan membesarkan perusahaan rintisan itu, P.T. Adi Citra Teknologi Semesta ( P.T. ACTS ), bersama tiga orang pendiri pendamping lainnya. Roby Widjaja menginvestasikan 100% uang tunainya, dari hasil menabung selama 7 tahun, sebagai modal saham untuk sekitar 60% saham perusahaan itu. Tidak hanya sekedar uang tunai, ia juga telah menginvestasikan keseluruhan hidup pribadinya ke dalam perusahaan itu, 10 sampai dengan 15 jam per hari setiap hari termasuk hari sabtu minggu dan hari libur bekerja membangun perusahaan tersebut, nama baik dan reputasinya, para relasinya,…Ya, hampir segala sesuatu yang ia miliki pada waktu itu, yang tidak terlihat maupun yang terlihat oleh mata manusia.
In the first two years of the company, there was no solid organization structure in this company, although the organization structure was drawn on the paper orderly. So, everybody in the company worked for all positions, roles, and job descriptions in reality. Roby Widjaja worked as CEO, CFO, CMO, direct sales officer, accountant, administration officer, Chief Software Architect, software developer, computer hardware engineer, and including company’s chauffeur and janitor. It happened because the company was founded with about IDR 60 million equity only. The company couldn’t recruit and pay too many full-time employees at that time.
Dalam dua tahun pertama berjalannya perusahaan, tidak ada struktur organisasi perusahaan yang solid dan teratur di dalam perusahaan, walaupun struktur organisasinya tergambar rapi dan teratur di atas kertas. Jadi kenyataannya, semua orang di perusahaan bekerja untuk semua posisi, peran, dan deskripsi pekerjaan. Roby Widjaja pada waktu itu terpaksa bekerja dengan multi jabatan dan multi peran sebagai Direktur Utama, Direktur Keuangan, Direktur Pemasaran, tenaga penjualan langsung keliling door-to-door, akuntan, pegawai administrasi, Kepala Arsitek Pengembangan Perangkat Lunak, programmer komputer, teknisi perangkat keras komputer, dan termasuk sebagai sopir mobil dan office boy perusahaan. Hal ini terjadi karena perusahaan didirikan hanya dengan modal saham sekitar IDR 60 juta. Perusahaan tidak bisa merekrut dan membayar gaji karyawan penuh waktu terlalu banyak pada waktu itu.
Roby Widjaja was the first person who introduced ERP Software theories, concepts, and architecture to the company and his team in the company. He observed the Indonesian software market that there were no single one 100% Made-in-Indonesia ERP software in Indonesia at those years. For him, It was just like discovering a “giant gold mountain” at that time. That’s why he forced his team to develop 100% made-in-Indonesia ERP Software instead of just accounting software. The ERP software was developed with Borland Delphi Visual Programming Language and Microsoft SQL Server. The complete modules of that software and its implementation service were sold about IDR 300 million for each client. It wasn’t a bad income number for fresh graduates just like him and his friends, isn’t it? The Indonesian minimum monthly salary standard was about IDR 750 thousand per month for full-time office workers at that time.
Roby Widjaja adalah orang pertama yang memperkenalkan berbagai teori, konsep, dan arsitektur Perangkat Lunak ERP ke dalam perusahaan dan tim nya. Ia sempat mengamati pasar perangkat lunak komputer di Indonesia dimana pada waktu itu tidak ada satupun perangkat lunak komputer ERP yang 100% buatan dalam negeri Indonesia. Melihat hal ini, baginya seperti sedang menemukan “gunung emas raksasa” pada waktu itu. Itulah mengapa ia memaksa tim nya untuk mengembangkan perangkat lunak komputer ERP 100% buatan dalam negeri Indonesia daripada hanya sekedar mengembangkan perangkat lunak akuntansi saja. Perangkat lunak itu dikembangkan dengan bahasa pemrograman visual Borland Delphi dan Microsoft SQL Server. Semua modul lengkap perangkat lunak ini dan termasuk jasa implementasinya pada waktu itu dijual seharga IDR 300 juta ke setiap satu klien. Angka penghasilan sebesar itu bukanlah angka yang rendah bagi sekelompok anak — anak muda yang baru lulus kuliah seperti dirinya dan teman — temannya, bukankah begitu? Standar gaji per bulan minimum untuk para karyawan kantor penuh waktu perusahaan adalah sebesar IDR 750 ribu per bulan pada waktu itu.
As time passed by, year by year, the company, revenue, employees number, and clients number grew bigger and bigger. The office of the company moved from the first office, the second floor of Roby Widjaja’s parents house, to a rented office building space in Surabaya City — Indonesia Country. The only reason Roby Widjaja and his team decided to move the office of the company to an office building was for a marketing purpose. Roby Widjaja, as one of his positions was the CMO of the company, learned about Marketing Management autodidact from many different sources and ways, including from Hermawan Kartajaya and Philip Kotler. Roby Widjaja learned from his experience as the CMO and direct sales force officer, other marketing professionals, and marketing management theories that intangible products marketing ( such as computer software, banking and insurance and other financial industry products, etc. ) is much more difficult than tangible products marketing ( such as houses, cars, food and beverages, fashion products, etc. ). Most potential customers liked to value the intangible products based on its physical representations which also build the brand’s image, such as the physical office, corporate cars, good-looking well-dressed salesforce officers, printed company profile, etc. Finally, It was proven by revenue number and clients’ size and number that the new office helped to increase the revenue and clients’ size or class drastically. Although it was proven by numbers and facts, Roby Widjaja got a lot of critics from his family and company’s shareholders regarding moving the office to the rented office building space. The critics were, it was too expensive, too glamorous, and a wrong decision to move the office to the rented office building space. But let’s think logically by common sense, who are strangers in this world that want to save their USD 20,000 to 30,000 money in saving or deposit accounts of a bank which its head office is a private house ( see the picture below )? Well, that saving and deposit accounts products of a bank is just a metaphor for a USD 20,000 to USD 30,000 ERP software of PT ACTS.
Seiring dengan berjalannya waktu, tahun berganti tahun, perusahaan itu, pendapatan, jumlah karyawannya, dan jumlah kliennya bertumbuh membesar terus. Kantor perusahaan pun juga sempat dipindahkan dari kantor pertama, yaitu lantai dua rumah pribadi orang tua Roby Widjaja, ke ruang kantor sewa di sebuah gedung perkantoran di kota Surabaya — negara Indonesia. Satu — satunya alasan Roby Widjaja dan tim nya memutuskan untuk memindahkan kantor perusahaan ke ruang kantor di gedung perkantoran tersebut adalah karena tujuan mendukung pemasaran perusahaan. Roby Widjaja, dimana salah satu posisinya adalah Direktur Pemasaran perusahaan, mempelajari manajemen pemasaran secara otodidak dari berbagai sumber dan cara termasuk belajar dari Hermawan Kartajaya dan Philip Kotler. Roby Widjaja belajar dari pengalamannya sebagai Direktur Pemasaran dan tenaga penjualan keliling door-to-door, para praktisi pemasaran lainnya, dan teori — teori manajemen pemasaran bahwa memasarkan produk — produk yang tidak terlihat mata manusia ( seperti perangkat lunak komputer, produk — produk perbankan dan asuransi dan industri keuangan lainnya, dan lain — lain ) adalah jauh lebih sulit daripada memasarkan produk — produk yang terlihat mata manusia ( seperti rumah, mobil, makanan dan minuman, pakaian, dan lain sebagainya ). Sebagian besar calon pelanggan suka menilai produk — produk yang tidak kelihatan mata manusia berdasarkan representasi fisiknya yang juga ikut membangun citra merek produk tersebut, misalnya kantor fisik perusahaan, mobil perusahaan, para tenaga kerja penjualan langsung yang berpenampilan prima, buku fisik profil perusahaan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, terbukti oleh angka pendapatan dan ukuran perusahaan dan jumlah para klien yang didapatkan bahwa kantor baru tersebut membantu meningkatkan pendapatan perusahaan dan jumlah serta kelas para klien secara drastis. Walaupun terbukti dengan angka dan fakta, Roby Widjaja pada waktu itu tetap mendapatkan banyak kritik dari keluarganya sendiri dan para pemegang saham perusahaan tentang keputusannya memindahkan kantor perusahaan ke ruang kantor sewa di gedung perkantoran. Kritik — kritik itu berkata bahwa kantor baru terlalu mahal, terlalu glamor, dan keputusan memindahkan kantor ke gedung perkantoran adalah sebuah keputusan yang salah. Tetapi marilah kita berpikir logis dengan akal sehat, siapakah orang asing di dunia ini yang mau menabungkan uangnya senilai USD 20,000 sampai dengan USD 30,000 di rekening tabungan atau deposito sebuah bank yang kantor pusatnya hanya sebuah rumah pribadi saja ( lihat foto di bawah ini ) ? Ya, rekening tabungan dan deposito bank tersebut hanyalah sebuah perumpamaan untuk sebuah perangkat lunak ERP PT.ACTS yang seharga antara USD 20,000 sampai dengan USD 30,000.
Other than nano size financial equity and lack of financial capital problems ( compare it to Apple and Microsoft which were founded with many million US Dollars in the first few years and grown with many billion US Dollars financial capital in equity, not a loan. ), most of the potential customers of PT. ACTS didn’t understand the difference between computer hardware and software, and between accounting software and ERP software. Roby Widjaja, as the CMO and direct sales force officer, had to educate the potential customers first before he could sell his ERP software to them. It became much more difficult with nano-size marketing campaign financial budget that he used at that time. It’s only people who never learned Mathematic who said and say that Roby Widjaja used very big financial capital when founded and grew PT. ACTS. How big is USD 5 thousand compared to USD 5 to 10 million ( USD 5 to 10 million is the number of financial capital in the equity of Apple and Microsoft in the first few years ) ?
Selain dari masalah modal finansial perusahaan yang berskala nano dan kurangnya modal finansial ( bandingkan dengan perusahaan Apple dan Microsoft yang didirikan dengan modal finansial beberapa juta US Dollar dan dibesarkan dengan beberapa miliar US Dollar modal finansial dalam bentuk modal saham, bukan hutang ), sebagian besar para calon pelanggannya pada waktu itu tidak mengerti perbedaan perangkat keras dan perangkat lunak komputer, dan perbedaan antara perangkat lunak akuntansi dengan ERP. Roby Widjaja, sebagai Direktur Pemasaran dan tenaga penjualan langsung keliling door-to-door, terpaksa harus mengedukasi para calon pelanggan potensialnya dahulu sebelum bisa menjual perangkat lunak ERP kepada mereka. Hal ini dipersulit dengan anggaran finansial pemasaran berskala nano yang bisa digunakan pada waktu itu. Hanya orang — orang yang tidak pernah belajar matematika yang mengatakan bahwa Roby Widjaja menggunakan modal finansial yang besar sekali ketika mendirikan dan membesarkan PT. ACTS. Seberapa besar USD 5 ribu apabila dibandingkan dengan USD 5 sampai dengan 10 juta ( USD 5 sampai dengan 10 juta adalah jumlah modal finansial berupa setoran modal saham dari perusahaan Apple dan Microsoft di beberapa tahun pertamanya )?.
As the company grew bigger, interpersonal conflicts arose in the company especially between Roby Widjaja, as the CEO, and the COO who was also one of the shareholders of the company. The COO, as an individual, was more choleric in his personality type and more dominant than Roby Widjaja as his CEO. It felt like a ship with two active captains every day in the company for Roby Widjaja when he led the company as the CEO.
Seiring bertambah besarnya perusahaan, konflik antar pribadi mulai sering terjadi di perusahaan terutama antara Roby Widjaja, sebagai Direktur Utama, dengan Direktur Operasionalnya yang juga adalah salah satu pemegang saham perusahaan. Sang Direktur Operasional, sebagai seorang individu, mempunyai kepribadian yang lebih koleris dan lebih dominan daripada Roby Widjaja sebagai Direktur Utamanya. Setiap hari terasa seperti sebuah kapal dengan dua Nahkoda kapal yang aktif sewaktu Roby Widjaja memimpin perusahaan itu sebagai Direktur Utamanya.
The COO only worked part-time in the company and treated his position and job as second income only. His first main income was from teaching as a computer science lecturer in a local Surabaya city university. Before the company was founded legally, the COO promised to Roby Widjaja that he would quit from his job as a lecturer after his income from PT ACTS is higher than his monthly income as a lecturer. Finally, He didn’t want to quit his job as a lecturer when the company could pay his part-time monthly salary much bigger than his salary as a lecturer. As the workload became higher and higher, he often didn’t work well and finish his works on-time. Roby Widjaja could see from day-to-day business operational facts that the COO always chose to sacrifice PT. ACTS’ interests rather than his position as lecturer’s interests when the COO had to chose to sacrifice one of them. Roby Widjaja was so disappointed to the COO because Roby Widjaja put 100% of everything in his personal life in the company, but the COO only put less than 50% of everything in his life in the company.
Sang Direktur Operasional hanya bekerja paruh waktu di perusahaan dan memperlakukan posisinya dan pekerjaannya sebagai COO sebagai sumber penghasilan tambahan saja. Penghasilan pertama dan utamanya adalah berasal dari gajinya sebagai dosen fakultas teknik komputer di sebuah universitas lokal di kota Surabaya. Sebelum perusahaan didirikan secara legal, sang COO sempat berjanji kepada Roby Widjaja bahwa ia akan berhenti dari pekerjaannya sebagai dosen ketika penghasilannya dari PT ACTS sudah lebih besar dari gaji per bulannya sebagai dosen. Namun akhirnya, sang COO juga tidak mau berhenti dari pekerjaannya sebagai dosen ketika perusahaan bisa membayar gaji paruh waktunya jauh lebih besar daripada gajinya sebagai dosen. Seiring dengan bertambah tingginya beban pekerjaan di perusahaan, sang COO sering tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan tepat waktu. Roby Widjaja bisa melihat dari fakta operasional perusahaan sehari — hari bahwa sang COO selalu memilih mengorbankan kepentingan — kepentingan PT ACTS daripada kepentingan — kepentingan dari posisinya sebagai dosen ketika sang COO harus memilih mengorbankan salah satu dari dua kepentingan tersebut. Roby Widjaja begitu kecewa terhadap sang COO karena Roby Widjaja menginvestasikan 100% dari keseluruhan hidup pribadinya ke dalam perusahaan, tetapi sang COO hanya menginvestasikan kurang dari 50% dari keseluruhan hidupnya ke dalam perusahaan.
Between the year 2002 to 2003, the company had a financial cash flow liquidity problem, although the company was profitable in the last few years before 2003. The company was almost take off to become middle to big size company. The company didn’t need to do direct sales anymore, but potential customers always contacted the company first asking for a product presentation and proposal from the company. The marketing was done successfully by Roby Widjaja, as the CMO, although he only used nano-size marketing campaign financial budget. The total full-time employees of the company were about 40 people. Although the company got many projects from many different clients, most of the clients didn’t pay the company’s billing on time. Those clients had signed the company’s billing documents, but they liked to delay the payment settlement. It was part of their “corporate culture” that Roby Widjaja couldn’t do anything about it. The company often had to reject new projects from new potential clients at that time, because it didn’t have enough free stand-by financial capital to recruit and train more full-time employees. The company couldn’t increase the equity of the company too big because there were no Venture Capital companies in Indonesia at that time. Individual investors weren’t right and suitable for the company anymore, because it was difficult to find local Indonesian individual investors who understand the characters and behaviours of technology industry sector. The company couldn’t get a loan too from local Indonesian banks, because the company didn’t have bankable physical assets. 90% of its assets on the balance sheet was an intangible asset, the ERP software that the company has developed since the year 1999 and generated revenue for the company every year. Roby Widjaja doesn’t think there is a common ordinary bank which accepts software or even an online platform such as Facebook as a guarantee for loan financing. Is there any bank which does it in this world now? No, Roby Widjaja isn’t talking about Investment Banks ( such as JP Morgan or Goldman Sachs ) or multi finance companies or Venture Capital companies. He is talking about common ordinary banks which provide saving and deposit accounts as one of their products. That’s why the company often paid employees’ salary late between the year 2002 to 2003. The only cause was the lack of financial capital and nano-size financial capital of the company.
Di antara tahun 2002 sampai dengan 2003, perusahaan mengalami masalah likuiditas arus kas keuangan, meskipun perusahaan menghasilkan profit selama beberapa tahun sebelum tahun 2003. Perusahaan waktu itu hampir lepas landas terbang melayang menjadi perusahaan berskala menengah atau besar. Perusahaan waktu itu sudah tidak perlu lagi melakukan penjualan secara langsung keliling door-to-door, malahan para calon pelanggan yang menghubungi perusahaan duluan untuk meminta perusahaan melakukan presentasi produk perangkat lunak dan meminta proposal dari PT ACTS. Terbukti, pemasaran yang dilakukan oleh Roby Widjaja, sebagai Direktur Pemasarannya, selama beberapa tahun pertama sangat berhasil, walaupun ia hanya menggunakan anggaran finansial pemasaran berskala nano, alias pemasaran mengandalkan “otot” saja. Jumlah total karyawan penuh waktu PT. ACTS pada waktu itu sudah mencapai lebih dari 40 orang. Meskipun perusahaan mendapatkan banyak proyek dari banyak klien yang berbeda, sebagian besar kliennya tidak berbudaya membayar tagihan tepat waktu. Meskipun sebagian besar klien itu sudah menandatangani dokumen — dokumen tagihan PT ACTS, tetapi kenyataannya mereka suka menunda pencairan dana pembayarannya. Praktik ini adalah bagian dari “Budaya Perusahaan” mereka dimana Roby Widjaja sendiri tidak bisa berbuat apa — apa untuk mengubahnya. Perusahaan bahkan sering terpaksa menolak proyek — proyek baru dari calon klien — klien baru pada waktu itu, karena perusahaan tidak memiliki modal finansial siap pakai yang masih belum terpakai untuk membiayai perekrutan dan pelatihan para karyawan baru. PT ACTS juga tidak bisa menambah modal finansial perusahaan terlalu besar karena tidak ada perusahaan modal ventura di Indonesia pada waktu itu. Para investor individu juga sudah tidak tepat dan cocok lagi bagi perusahaan, karena terlalu sulit menemukan para investor individu lokal Indonesia yang mengerti karakter dan perilaku sektor industri teknologi. Perusahaan juga tidak pernah berhasil mendapatkan hutang dari bank — bank umum lokal Indonesia, karena perusahaan tidak memiliki aset fisik yang laku dijaminkan ke bank untuk mencairkan dana pinjaman perbankan. 90% aset perusahaan pada waktu itu di neraca keuangannya adalah aset tidak berwujud, yaitu perangkat lunak ERP yang sudah dikembangkan perusahaan secara terus menerus sejak tahun 1999 dan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan setiap tahun. Bahkan sampai saat artikel ini ditulis, Roby Widjaja yakin tidak ada bank umum yang mau menerima perangkat lunak komputer atau platform online seperti Facebook sebagai jaminan perbankan untuk mencairkan dana pinjaman perbankan. Apakah ada bank seperti itu di dunia ini sekarang? Tidak, Roby Widjaja tidak sedang berbicara tentang Bankir Investasi ( seperti JP Morgan atau Goldman Sachs ) atau perusahaan multi-finance atau perusahan modal ventura. Roby Widjaja berbicara tentang bank umum yang menyediakan rekening tabungan dan deposito sebagai salah satu produknya. Itulah penyebab satu — satunya mengapa PT ACTS sering terlambat membayar gaji para karyawannya di antara tahun 2002 sampai dengan 2003. Penyebab satu — satunya adalah kurangnya modal finansial perusahaan dan modal finansial perusahaan yang berskala nano.
Regarding Venture Capital companies, Roby Widjaja had sent more than 40 equity investment proposals to many different international venture capital companies and investment management companies. Some of those 40 proposals were sent to Berkshire Hathaway, Inc ( The Warren Buffett’s investment company ), Bill Gates’ personal email address, Sequoia Capital, and Kingdom Investment Company ( an HRH Prince Alwaleed Bin Talal’s investment company ). But unfortunately, all the answers he got from those companies were only two kinds of answers, “Where is Indonesia?” and “We aren’t interested to invest in Indonesia now”.
Tentang perusahaan — perusahaan modal ventura, Roby Widjaja sempat mengirimkan lebih dari 40 proposal investasi modal saham ke beberapa perusahaan modal ventura dan manajemen investasi internasional. Beberapa dari 40 proposal investasi modal saham itu sempat terkirim ke Berkshire Hathaway, Inc ( perusahaan investasi milik Warren Buffett ), surat elektronis pribadi Bill Gates, Sequoia Capital, perusahaan investasi Kingdom ( sebuah perusahaan investasi milik Pangeran Alwaleed Bin Talal ). Namun sayangnya, semua jawaban yang didapatnya dari perusahaan — perusahaan itu hanya dua jenis jawaban, “Dimanakah Indonesia itu?” dan “Kami saat ini tidak berminat untuk berinvestasi di Indonesia”.
In the last few months of the year 2003, Roby Widjaja and his COO had the last heart to heart meeting in the office for a few hours. That meeting discussed who should lead the company as the CEO for the next years. Roby Widjaja and his COO had to choose one from these two dilemmatic options for each person. The first option, the one who choose to lead PT ACTS as the CEO for the next years should receive the CEO position with all the positive and negative sides of the company’s condition. The second option, the other one who choose to quit from the company will bring nothing from the company and should find a new job or start a new company by himself without any kinds of supports from PT ACTS. Roby Widjaja gave the opportunity to choose first to his COO. In the end, one day after that last meeting, the COO chose to lead the company as the CEO for the next years and accepted all the positive and negative sides of the company’s condition. The negative side of PT ACTS’ conditions at that time was only the company was in financial cash flow liquidity problem and didn’t have enough free cash in the company’s bank account to pay the company’s monthly operational costs for the next few months. That’s all and nothing else. How about the positive sides of PT ACTS’ condition at that time? The company had many past and existing clients ( The fact in business and working world, it is absolutely very difficult to get the first few clients and build a portfolio or client list ). Second, the company still had many productive well trained loyal employees. Third, the company’s brand awareness was very strong. The new CEO didn’t need to do direct sales door-to-door anymore to get new projects from new clients. Fourth, The company still had a big enough number on the account receivable that could pay the company’s monthly operational costs for about the next 24 months. But, yes, the challenge was, in order to convert that number on the account receivable into cash in the current assets, the company must finish all the ERP software implementation projects for many different clients. The COO’s decision meant that Roby Widjaja had to choose the second option, leaving the company empty-handedly literally. Roby Widjaja didn’t receive any cash, not even a dime, for his 45+% shares of PT ACTS by share buyback program from the company or other shareholders, He also didn’t get any golden handshake from the company after his hard work building the company for about 5 years with 10 to 15 hours a day daily including weekend and holiday working hours as the CEO and many other positions. On the last financial report of the company before that meeting, the company still owed about IDR 30 million to Roby Widjaja because the company often bought products or services using Roby Widjaja’s 2 only personal credit cards. But, Roby Widjaja has never received payback from the company until today, the day this story is written. So, what did Roby Widjaja get when he chose to leave the company empty-handedly in 2003? Roby Widjaja only got a copy of PT ACTS’ corporate by law documents, and nothing else, no money, not even a company’s pen or pencil as a souvenir. That’s all that he got from all of his cash he invested in the company from his 7 years saving account, and about 5 years hard work with 10 to 15 hours working hours a day daily including weekend and holiday, and all other things both intangible and tangible things he has invested to the company during 5 years working in the company.
Di beberapa bulan terakhir dari tahun 2003, Roby Widjaja dan Direktur Operasionalnya melakukan rapat dari hati ke hati yang terakhir kalinya di kantor selama beberapa jam. Rapat empat mata tersebut membahas siapa yang sebaiknya memimpin PT ACTS sebagai Direktur Utamanya untuk beberapa tahun berikutnya. Roby Widjaja dan Direktur Operasionalnya harus memilih satu dari dua pilihan dilematis untuk setiap orangnya. Pilihan pertama, orang yang memilih untuk memimpin PT ACTS sebagai Direktur Utamanya untuk beberapa tahun berikutnya harus menerima posisi Direktur Utama dengan segala sisi positif dan negatif dari kondisi perusahaan. Pilihan kedua, orang kedua yang memilih untuk berhenti dan keluar dari perusahaan tidak akan membawa apapun juga dari perusahaan dan harus mencari pekerjaan baru atau memulai perusahaan baru oleh dirinya sendiri tanpa dukungan apapun dari PT ACTS. Roby Widjaja memberikan kesempatan pertama untuk memilih kepada Direktur Operasionalnya. Pada akhirnya, sehari setelah rapat terakhir itu, sang Direktur Operasional ternyata memilih untuk memimpin perusahaan sebagai Direktur Utamanya untuk beberapa tahun berikutnya dan mau menerima segala sisi positif dan negatif dari kondisi perusahaan. Sisi negatif dari kondisi PT ACTS pada waktu itu hanyalah perusahaan sedang dalam masalah likuiditas arus kas keuangan dan tidak sedang mempunyai cukup uang tunai di rekening bank perusahaan untuk membayar biaya — biaya operasional perusahaan beberapa bulan ke depan. Hanya itu saja dan tidak ada yang lain. Bagaimana dengan sisi — sisi positif dari kondisi PT ACTS pada saat itu? Perusahaan masih mempunyai beberapa klien lama maupun beberapa klien yang sedang berjalan proyeknya ( Kenyataan di dunia bisnis dan kerja, mendapatkan beberapa klien pertama dan membangun portfolio atau daftar klien adalah sesuatu yang mutlak sangat sulit ). Kedua, perusahaan masih memiliki beberapa karyawan produktif yang telah terdidik dengan baik yang setia kepada perusahaan. Ketiga, brand awareness perusahaan sangat kuat pada waktu itu. Direktur Utama yang baru tidak perlu lagi melakukan penjualan langsung door-to-door keliling untuk mendapatkan proyek — proyek baru dari klien — klien baru. Keempat, perusahaan masih memiliki saldo piutang yang cukup besar untuk membayar biaya — biaya operasional bulanan perusahaan selama 24 bulan ke depan. Tetapi, ya, tantangannya adalah harus menyelesaikan proyek — proyek yang sedang berjalan dari beberapa klien untuk bisa mencairkan semua saldo piutang menjadi aset lancar ( uang tunai di rekening bank perusahaan ) itu secara bertahap. Keputusan dari sang COO tersebut artinya Roby Widjaja harus memilih pilihan kedua, meninggalkan perusahaan tanpa membawa apapun juga dari perusahaan secara harfiah. Roby Widjaja tidak menerima uang tunai, bahkan satu rupiah pun, dari perusahaan sebagai ganti dari 45+% sahamnya di perusahaan dari program pembelian saham kembali oleh perusahaan atau para pemegang saham lainnya. Roby Widjaja pada saat itu juga tidak mendapatkan pesangon satu rupiah pun dari perusahaan setelah kerja kerasnya membangun perusahaan selama sekitar 5 tahun dengan 10 sampai dengan 15 jam kerja per hari setiap hari termasuk akhir pekan dan hari libur sebagai Direktur Utama dan posisi — posisi lainnya di perusahaan. Laporan keuangan PT ACTS yang terakhir sebelum rapat itu mencatat bahwa perusahaan masih berhutang uang tunai sebesar IDR 30 juta kepada Roby Widjaja karena perusahaan sering berbelanja menggunakan 2 kartu kredit pribadi Roby Widjaja. Tetapi, Roby Widjaja juga tidak pernah menerima pembayarannya dari perusahaan sampai hari ini, hari cerita ini ditulis. Jadi, apa yang Roby Widjaja dapatkan ketika ia memilih meninggalkan perusahaan tanpa membawa apa — apa pada tahun 2003? Roby Widjaja hanya mendapatkan fotokopi dari akta notaris PT. ACTS beberapa lembar kertas saja, dan tidak ada yang lain, tidak juga uang, bahkan tidak juga sebuah pulpen atau pensil perusahaan sebagai kenang — kenangan. Hanya itu saja yang didapatkan dari semua uang tunainya yang diinvestasikan ke dalam perusahaan hasil menabung selama 7 tahun sebelum mendirikan perusahaan itu, dan sekitar 5 tahun kerja kerasnya dengan 10 sampai dengan 15 jam jam kerja per hari setiap hari termasuk akhir pekan dan hari — hari libur, dan semua hal yang kelihatan atau tidak kelihatan mata manusia yang diinvestasikan ke dalam perusahaan selama 5 tahun bekerja di perusahaan.
Yes, Roby Widjaja left PT ACTS in the year 2003 finally empty-handedly. The last financial report of PT ACTS on the day he left the company recorded that Roby Widjaja had 45+% shares of PT ACTS ( It was 60+% in the first few years of the company and it was diluted by shares of other shareholders ), PT ACTS owed Roby Widjaja IDR 30+ million and has never paid it back to Roby Widjaja until today, PT ACTS has no loan to other people ( except IDR 30+ million to Roby Widjaja only ) or companies ( including banks and financial companies ), PT ACTS’ total assets were about IDR 2 billion, and PT ACTS’ total equity was about IDR 800 million from 9 shareholders.
Ya, Roby Widjaja pada akhirnya meninggalkan PT ACTS di tahun 2003 dengan tanpa membawa apapun juga dari perusahaan. Laporan keuangan PT ACTS yang terakhir pada hari dimana ia meninggalkan perusahaan mencatat bahwa Roby Widjaja memiliki sekitar 45% saham PT ACTS ( Awalnya sekitar 60% di beberapa tahun pertama perjalanan PT ACTS dan kemudian terdilusi oleh saham — saham dari para pemegang saham lainnya ), PT ACTS berhutang sekitar IDR 30 juta kepada Roby Widjaja dan tidak pernah membayarnya kembali kepada Roby Widjaja sampai hari ini, PT ACTS tidak mempunyai hutang kepada orang lain ( kecuali hanya kepada Roby Widjaja sebesar IDR 30 juta ) dan perusahaan lain ( termasuk bank dan perusahaan keuangan ), total aset PT ACTS sekitar IDR 2 milyar, dan total setoran modal saham PT ACTS adalah sekitar IDR 800 juta dari 9 pemegang saham.
This bad experience is the most expensive life lessons that Roby Widjaja learned from all of his 40+ years life. What are the life lessons that he learned from it?
- Don’t put your 100% of your whole life into something ( for example, a joint venture company ) or a relationship while your partner(s) or girlfriend/boyfriend or spouses put much less than 100% of their whole life into it.
- Choose the right business and life partners, not just based on characters, personalities, skills, intelligence, but also based on their same vision, missions, and level of commitment.
Pengalaman buruk ini adalah beberapa pelajaran hidup termahal yang didapatkan Roby Widjaja selama 40 tahun lebih hidupnya. Apa saja beberapa pelajaran hidup berharga yang didapatkan dari pengalaman ini?
- Jangan menginvestasikan 100% dari seluruh hidupmu ke dalam sesuatu ( sebagai contoh, sebuah perusahaan yang dimiliki beberapa pemegang saham ) atau sebuah hubungan, dimana mitra — mitramu atau pacarmu atau pasangan hidupmu hanya menginvestasikan jauh lebih kecil dari 100% seluruh hidup mereka ke dalamnya.
- Pilihlah mitra bisnis dan pasangan hidup yang tepat, tidak hanya berdasarkan karakter, kepribadian, keahlian, kecerdasan, tetapi juga berdasarkan kesamaan visi, misi — misi, dan level komitmen.
The right wise conclusion, Roby Widjaja’s failure in his first startup company was caused by these factors only and nothing else:
- Nano size financial equity he used to start and grow the company. ( PT ACTS’ total equity in 2003 was only about IDR 800 million or USD 80 thousand. Compare it Apple’s and Microsoft’s total equity in the first 5 years of the companies, in the 1970s, it was many million US Dollars. The first advertisement spending of Apple was about USD 600 thousand. It was Apple’s first desktop computer advertisement on CNN. Who says high-quality products or services sell itself and don’t need advertising anymore? Microsoft’s marketing campaign financial budget was about 65% of its yearly revenues in the first few years. )
- Lack of financial capital.
- Founded the company in the wrong country and in the wrong time ( It was too early to found a technology company in Indonesia because all the necessary financial infrastructures for technology industry sector didn’t exist in Indonesia at that time in the year 1999 to 2003 ).
- Chose the wrong business partners especially The COO.
Kesimpulan yang benar dan bijaksana, kegagalan Roby Widjaja di perusahaan rintisan pertamanya ini disebabkan hanya oleh beberapa faktor ini dan tidak ada faktor lainnya:
- Ia menggunakan modal finansial berskala nano untuk memulai dan membesarkan perusahaan ini. ( Total modal saham PT ACTS di tahun 2003 hanya sekitar IDR 800 juta atau USD 80 ribu saja. Bandingkan dengan total modal saham perusahaan Apple dan Microsoft di 5 tahun pertamanya, di kisaran tahun 1970 an, sekitar beberapa juta US Dollars. Belanja iklan berbayar perusahaan Apple yang paling pertama adalah sekitar USD 600 ribu. Itu adalah iklan berbayar untuk produk komputer desktop pertama dari Apple di media massa CNN. Siapa yang bilang bahwa produk atau jasa berkualitas tinggi bisa terjual dengan sendirinya secara otomatis dan tidak memerlukan beriklan lagi ? Total anggaran finansial kampanye pemasaran Microsoft di beberapa tahun pertamanya adalah sekitar 65% dari pendapatan per tahunnya. ).
- Kurang “gizi” alias kurang modal finansial.
- Mendirikan PT ACTS di negara yang salah dan di waktu yang salah. ( Pada waktu itu, terlalu dini untuk mendirikan sebuah perusahaan teknologi di Indonesia karena semua infrastruktur keuangan yang diperlukan oleh sektor industri teknologi belum ada di Indonesia sekitar tahun 1999 sampai dengan 2003. ).
- Memilih para mitra bisnis yang salah terutama Sang COO.
Although Roby Widjaja felt sad and disappointed for a few months after leaving PT ACTS empty-handedly, Roby Widjaja decided to let it go, forget it all, and start a new business with new startup company finally.
Meskipun Roby Widjaja merasa sedih dan kecewa selama beberapa bulan setelah meninggalkan PT ACTS dengan tanpa membawa dan menerima apapun juga, Roby Widjaja akhirnya memutuskan untuk melepaskan, melupakan semuanya, dan memulai bisnis baru dengan perusahaan rintisan barunya.
To be continued on: It’s a [ Roby Widjaja Tells a Story About Roby Widjaja ] Story — Part 3.
Bersambung pada: It’s a [ Roby Widjaja Tells a Story About Roby Widjaja ] Story — Part 3.
Roby Widjaja, The Storyteller and also The Subject of this true life story.
Roby Widjaja, Sang Pencerita Cerita dan sekaligus Sang Subyek cerita pada kisah hidup nyata ini.
Digital Marketing Specialist and Strategist, Website and Web Application Developer, Mobile Apps Developer, Market Researcher, Search Engine Optimization ( SEO ) Specialist, Digital Advertising Specialist, Social Media Management Specialist, Digital Content Creator, Digital Artist, Independent Writer, Graphic Designer, Videographer and Video Editor, 2D/3D Animator, Software Developer, Scientist, Thinker, and Entrepreneur.
Spesialis dan Pembuat Strategi Pemasaran Digital, Pengembang situs web dan aplikasi berbasis web, Pengembang Aplikasi Ponsel Cerdas, Spesialis Optimasi Mesin Pencarian, Spesialis Manajemen Iklan Digital, Spesialis Manajemen Akun Media Sosial, Kreator Konten Digital, Seniman Digital, Penulis Lepas Mandiri, Desainer Grafis, Videografer dan Editor Video, Kreator Animasi 2D/3D, Pengembang Perangkat Lunak Komputer, Ilmuwan, Pemikir, dan Wirausahawan.
100% Shareowner, Founder, and CEO of iMarketology and Arts-of-Life. Both iMarketology and Arts-of-Life haven’t been incorporated legally yet anywhere in this world.
Pemilik 100% Saham, Pendiri, dan Direktur Utama dari iMarketology dan Arts-of-Life. Baik iMarketology maupun Arts-of-Life belum dibuat badan hukumnya secara legal dimanapun juga di dunia ini.
Social Media: Instagram | Twitter | Facebook | Facebook Page | Linkedin