It’s a [ Roby Widjaja Tells a Story About Roby Widjaja ] Story — Part 5

Roby Widjaja
20 min readJul 25, 2020

--

Read also [ Baca juga ] : It’s a [ Roby Widjaja Tells a Story About Roby Widjaja ] Story — Part 4

It’s Another Battle in Jakarta, Indonesia

Ini Adalah Pertempuran Lainnya di Jakarta, Indonesia

Monumen Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia — Kota Jakarta. Sumber foto: https://www.google.com/maps/

After being deported from the United States of America, Roby Widjaja had to start a new life in Indonesia again with no money, few clothes, a notebook computer, and a few contacts of family and friends. He was only allowed to bring his personal properties less than 30 kilograms in his flight from the United States of America to Indonesia. That’s why he left most of his personal properties in the United State of America before his departure to Indonesia.

Setelah dideportasi dari Amerika Serikat, Roby Widjaja harus memulai hidup baru di Indonesia lagi dengan tanpa uang satu rupiah pun, beberapa potong pakaian, sebuah komputer notebook, dan beberapa kontak saudara dan teman. Ia hanya diperbolehkan membawa pulang barang — barang pribadinya kurang dari 30 kilogram saja ketika naik pesawat dari Amerika Serikat ke Indonesia. Itulah mengapa ia meninggalkan sebagian besar barang — barang pribadinya di Amerika Serikat sebelum keberangkatan pesawatnya ke Indonesia.

Roby Widjaja had to stay in his parents’ house in Surabaya City — Indonesia for a few weeks after he arrived in Indonesia. He lived with his parents’ financial and non-financial support temporarily.

Roby Widjaja harus tinggal di rumah orang tuanya di kota Surabaya — Indonesia selama beberapa minggu setelah ia tiba di Indonesia. Ia hidup dengan dukungan finansial dan non-finansial dari orang tuanya untuk sementara waktu.

Roby Widjaja tried to find new business and job opportunities for himself from his family and friends while he was staying in his parents’ house. It was difficult to find other people who wanted to trust him for a business or a job because most people in Indonesia only knew he was jailed in the United States of America for a criminal case and deported to Indonesia. Nobody knew the complete true story about it.

Roby Widjaja mencoba untuk mencari peluang — peluang bisnis dan pekerjaan baru untuk dirinya sendiri dari para saudara dan temannya selama ia tinggal di rumah orang tuanya. Pada waktu itu sulit baginya untuk menemukan orang lain yang mau mempercayakan sebuah bisnis atau pekerjaan kepadanya karena sebagian besar orang di Indonesia hanya tahu bahwa ia pernah ditahan di tahanan Amerika Serikat karena sebuah kasus kriminal dan dideportasi ke Indonesia. Tidak ada seorang pun yang tahu cerita lengkap sebenarnya tentang hal itu.

One of Roby Widjaja’s female high school friends offered him to run a new joint venture startup company with her in Jakarta. The plan was, Roby Widjaja, his female friend, and her husband started a new startup company in Real Estate and Property Developer in Jakarta. He would be the CEO of that new startup company. The company was planned to be started with about IDR 5 Billion equity capital from her and her husband. Roby Widjaja agreed to run the company as the CEO and got a monthly salary and stocks option.

Salah satu dari teman — teman wanita SMA Roby Widjaja menawarkan kepadanya untuk menjalankan sebuah perusahaan rintisan baru dengan modal patungan dengan temannya itu di Jakarta. Rencananya adalah, Roby Widjaja, teman SMA wanitanya, dan suami temannya itu hendak mendirikan sebuah perusahaan rintisan baru di bidang Pengembang Real Estate dan Properti di Jakarta. Ia akan menjadi Direktur Utama perusahaan rintisan baru itu. Perusahaan itu direncanakan didirikan dengan modal saham sekitar Rp 5 Milyar dari temannya dan suami temannya itu. Roby Widjaja setuju untuk menjalankan perusahaan itu sebagai Direktur Utamanya dengan mendapatkan gaji per bulan dan beberapa persen saham di perusahaan sebagai bonus.

After a long discussion by emails and phone between Roby Widjaja and his friend, He was sure that his friend was serious with her offer. He decided to move to Jakarta to take that opportunity. Roby Widjaja only received about IDR 10 million from his parents as pocket money to finance his plan to move to Jakarta. He bought a few new clothes, new two travelling luggage, a new mobile phone, other necessary and important things, a one-way ticket from Surabaya to Jakarta, and paid the first-month rental fee of a rented room in Jakarta with that IDR 10 million. He flew and moved to Jakarta finally.

Setelah sebuah diskusi panjang melalui emails dan telpon antara Roby Widjaja dan temannya, Ia menjadi yakin bahwa temannya serius dengan tawarannya itu. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke Jakarta mengambil kesempatan itu. Roby Widjaja hanya dibekali dengan uang sekitar Rp 10 juta dari orang tuanya sebagai bekal untuk merantau ke Jakarta. Ia kemudian membeli beberapa baju baru, dua buah koper perjalanan baru, sebuah telpon seluler baru, barang — barang penting lainnya yang diperlukan, sebuah tiket satu jalan dari Surabaya ke Jakarta, dan membayar uang kamar kost di Jakarta untuk bulan pertama dengan uang Rp 10 juta itu. Ia kemudian terbang dan pindah ke Jakarta akhirnya.

Roby Widjaja stayed in Jakarta between the year 2007 to 2010.

Roby Widjaja tinggal di Jakarta antara tahun 2007 sampai dengan 2010.

In Jakarta, Roby Widjaja only had a chance to meet and discuss the business plan in detail with his friend and her husband for a few days only. The deal was made among Roby Widjaja, his friend, and her husband finally. Before the startup company was incorporated legally in Jakarta, his friend and her husband asked a permission to go to Semarang city for a few days first. They both said they would start the business legally and truly after they came back from Semarang city.

Di Jakarta, Roby Widjaja hanya sempat bertemu dan berdiskusi tentang rencana bisnis itu secara detail dengan temannya dan suami temannya selama beberapa hari saja. Akhirnya tercapailah sebuah kesepakatan kerjasama bisnis antara Roby Widjaja, temannya, dan suami temannya itu. Sebelum perusahaan rintisan itu sempat didirikan secara hukum di Jakarta, temannya dan suami temannya itu berpamitan hendak ke kota Semarang dahulu selama beberapa hari. Mereka berdua mengatakan bahwa mereka akan memulai bisnis itu secara legal dan sebenarnya setelah mereka kembali dari kota Semarang.

Roby Widjaja waited for his friends in Jakarta for almost a week without receiving any news from them. Just because of his curiosity, He tried to contact them by emails and phone more than 10 times in many different days, but Roby Widjaja never received answers from them anymore. They both disappeared mysteriously just like they both were abducted by an UFO.

Roby Widjaja menunggu dua temannya itu di Jakarta selama hampir seminggu tanpa pernah menerima kabar dari mereka. Karena penasaran, Ia mencoba menanyakan kabar mereka berdua melalui emails dan telpon lebih dari 10 kali dalam beberapa hari yang berbeda, tetapi Roby Widjaja tidak pernah menerima jawaban dari mereka lagi. Mereka berdua menghilang secara misterius seperti hilang diculik oleh pesawat luar angkasa alien.

The planned startup company was never be incorporated legally. It was only an empty promise and deal. Roby Widjaja had to accept that reality and was forced to find other opportunities in Jakarta because he was running out of cash. He decided to survive in Jakarta in all possible ways.

Perusahaan rintisan yang direncanakan itu tidak pernah didirikan secara hukum. Itu hanyalah sebuah janji dan kesepakatan kosong ternyata. Roby Widjaja harus menerima kenyataan itu dan terpaksa harus mencari peluang — peluang lain di Jakarta karena ia mulai kehabisan uang. Ia memutuskan untuk bertahan hidup di Jakarta dengan segala cara yang mungkin dilakukan.

Many people indeed say “Jakarta is crueller than the cruellest stepmother”. With only too small amount of money he could use to pay his basic living cost less than a month, Roby Widjaja tried to find new business and job opportunities again in Jakarta. He had to live in biological starvation literally for a few weeks because he could only eat one package instant noodle once a day for saving his money in survival mode.

Benarlah kata banyak orang bahwa “Sekejam — kejamnya ibu tiri, Ibukota ( Kota Jakarta ) masih lebih kejam”. Hanya dengan sisa uang yang terlalu sedikit yang hanya cukup untuk digunakan membayar biaya hidup dasarnya kurang dari sebulan, Roby Widjaja mencoba untuk mendapatkan peluang — peluang bisnis dan pekerjaan baru lagi di Jakarta. Ia harus hidup dalam kelaparan secara biologis dalam arti harafiah selama beberapa minggu karena ia hanya bisa makan satu bungkus mie instan sehari sekali untuk menghemat uangnya dalam rangka bertahan hidup.

Roby Widjaja met a new friend in Jakarta from his other friends finally. His new friend was the son of a successful rich famous businessman in Jakarta. His father had good relationships with people of high-class society in Jakarta. Roby Widjaja got a new job from this new friend as a general affair employee with IDR 5 million per month salary for the first few months.

Roby Widjaja akhirnya sempat berkenalan dengan teman baru di Jakarta atas bantuan teman — temannya yang lain. Teman barunya itu adalah anak dari seorang pengusaha kaya sukses terkenal di Jakarta. Ayahnya mempunyai hubungan yang baik dengan orang — orang dari kalangan kelas atas di Jakarta. Roby Widjaja mendapatkan pekerjaan baru dari teman baru ini sebagai karyawan serabutan ( tidak mempunyai deskripsi pekerjaan dan harus mau mengerjakan semua hal sesuai perintah atau permintaan atasan langsung, yaitu teman barunya itu ) dengan gaji Rp 5 juta untuk beberapa bulan pertama.

As a general affair employee of his new boss, Roby Widjaja had to do many various tasks daily, such as driving as a driver ( for his boss, his boss’ wife, his boss’ children, company’s guesses ), washing cars, cleaning office rooms, doing direct sales, doing office administration, entertaining customers, etc. There is no fixed job description for him as a general affair employee.

Sebagai karyawan serabutan untuk atasan barunya, Roby Widjaja harus melakukan berbagai macam tugas setiap hari, seperti menjadi sopir ( bagi atasannya, istri temannya itu, anak — anak temannya, tamu — tamu perusahaan ), mencuci mobil — mobil pribadi dan perusahaan, membersihkan ruangan — ruangan kantor, melakukan penjualan langsung sebagai tenaga penjualan, mengerjakan pekerjaan administrasi kantor, menghibur para pelanggan, dan lain sebagainya. Tidak ada deskripsi pekerjaan yang jelas baginya sebagai karyawan serabutan.

After working as a general affair employee for a few months, his Boss said that he was founding a new startup company. He asked Roby Widjaja to be the COO of that company with IDR 27 million per month salary and corporate facilities ( such as a corporate car that Roby Widjaja could use 24 hours and 7 days just like a private car ). That salary and facilities were equal to a manager to general manager monthly salary of Indonesia Big Companies ( such as Astra, Sinar Mas, Telkom, etc ).

Setelah beberapa bulan bekerja sebagai karyawan serabutan, atasannya kemudian berkata bahwa ia sedang mendirikan perusahaan rintisan baru. Ia meminta Roby Widjaja untuk menjadi Direktur Operasional di perusahaan itu dengan gaji Rp 27 juta per bulan dan beberapa fasilitas perusahaan ( misalnya seperti sebuah mobil dinas yang boleh dipakai Roby Widjaja 24 jam dan 7 hari penuh seolah — olah seperti mobil milik pribadi ). Gaji dan fasilitas perusahaan itu dulu setara dengan gaji dan fasilitas manajer sampai general manajer perusahaan — perusahaan besar kelas nasional di Indonesia ( seperti Astra, Sinar Mas, Telkom, dan sejenisnya ).

Read also [ Baca juga ]: Pembelaan Bagi Seorang Setya Novanto

The core business of that new startup company was distributing and selling luxury building materials for luxury houses and buildings, but the company also had a few other businesses too. As a COO, Roby Widjaja had to control all departments of the company, from the marketing department, finance and accounting department, human resources department, warehouse department, etc. He also had to achieve monthly revenue target as one of the company’s targets.

Bisnis utama perusahaan rintisan baru itu adalah mendistribusikan dan menjual bahan — bahan bangunan mewah untuk rumah — rumah dan bangunan — bangunan mewah, tetapi perusahaan itu juga mempunyai bisnis — bisnis lain. Sebagai Direktur Operasional, Roby Widjaja harus mengontrol semua departemen perusahaan, seperti departemen pemasaran, departemen keuangan dan akuntansi, departemen sumber daya manusia, departemen gudang, dan lain sebagainya. Ia juga harus bisa mencapai target pendapatan perusahaan tiap bulan sebagai salah satu dari target — target perusahaan.

Other than those daily tasks, Roby Widjaja also had to design and implement a system ( including writing and implementing a corporate S.O.P ) for the whole business organization. The CEO, his friend, also asked Roby Widjaja to run the company professionally by a professional system as if the company is a public listed company, as a preparation for an I.P.O in the future. Roby Widjaja did it very well as requested.

Selain tugas — tugas harian itu, Roby Widjaja juga harus mendesain dan mengimplementasikan sebuah sistem ( termasuk menulis dan mengimplementasikan sebuah Proses Bisnis Standar perusahaan ) untuk organisasi bisnis perusahaan secara keseluruhan. Sang Direktur Utama, temannya itu, meminta Roby Widjaja untuk menjalankan perusahaan secara profesional dengan menerapkan sistem yang profesional seolah — olah perusahaan itu adalah perusahaan yang sudah terbuka dan tercatat di Bursa Saham, sebagai sebuah persiapan untuk melakukan Penawaran Saham Terbuka di masa depan. Roby Widjaja melaksanakan semua tugas khusus itu dengan baik sesuai permintaan.

Roby Widjaja worked more than 12 hours daily including weekend and holiday. He spent his after office hours for casual social networking to make his office jobs done easier, especially the sales job. Many times he had to wake up between 3 to 5 am to drive as a driver and deliver the company’s guesses to the airport ( some high-class customers didn’t want to be delivered by company’s drivers. They wanted Roby Widjaja to drive the car and deliver them to the airport. ). Many times Roby Widjaja had to come back to his rented room between 1 am to 3 am after entertaining special customers in night entertainment places. It was parts of his jobs as the COO too.

Roby Widjaja bekerja lebih dari 12 jam setiap hari termasuk hari sabtu, minggu, dan hari — hari libur. Ia menggunakan waktu di luar jam kerja kantornya untuk membangun jaringan sosial melalui pertemuan — pertemuan sosial santai untuk mempermudah pekerjaan — pekerjaan kantornya, terutama dalam hal pencapaian target penjualan. Seringkali ia harus bangun pagi antara pukul 3 sampai 5 pagi untuk menjadi sopir mengantar tamu - tamu perusahaan ke bandara ( beberapa pelanggan kelas atas tidak mau diantar oleh sopir — sopir perusahaan. Mereka hanya mau Roby Widjaja yang menjadi Sopir mengantar mereka ke bandara. ). Seringkali Roby Widjaja harus pulang ke kost antara jam 1 sampai 3 pagi setelah selesai menghibur para pelanggan di tempat — tempat hiburan malam. Itu adalah bagian dari semua pekerjaannya sebagai Direktur Operasional juga.

One day a nightmare happened. The CEO asked Roby Widjaja as the COO to fire a low-level employee of the company. That employee didn’t have any mistakes. The only reason the CEO asked him to fire that employee was the Chairman of the company didn’t like that employee. So, the reason for that employee termination request was only based on personal like and dislike of the Chairman. No other reasons. Roby Widjaja refused to fire that employee because it was wrong and not professional to do it. Unfortunately, the CEO forced him to fire that employee by giving him two choices only, firing that employee or self-resign.

Suatu hari sebuah mimpi buruk terjadi. Sang Direktur Utama meminta Roby Widjaja sebagai Direktur Operasional untuk memecat seorang karyawan di level terbawah manajemen perusahaan. Karyawan itu tidak memiliki catatan kesalahan apa pun selama bekerja di perusahaan. Satu — satunya alasan Sang Direktur Utama memintanya untuk memecat karyawan itu adalah karena Komisaris Perusahaan tidak menyukai karyawan itu. Jadi, alasan permintaan memecat karyawan itu hanya berdasarkan rasa suka dan tidak suka pribadi dari Komisaris Perusahaan. Tidak ada alasan lain. Roby Widjaja menolak untuk memecat karyawan itu karena itu adalah salah dan tidak profesional untuk dilakukan. Sayangnya, Sang Direktur Utama tetap memaksanya untuk memecat karyawan itu dengan memberikan dua pilihan kepadanya, memecat karyawan itu atau mengundurkan diri.

It was a difficult choice. That employee was an old man and much older than Roby Widjaja. Roby Widjaja only had a professional relationship with him in the office and no personal relationship. After thinking in two days, Roby Widjaja decided to resign from the company. He realized that his decision to resign would force him to be in survival mode again while he was trying to find other new business or job opportunities.

Itu adalah sebuah pilihan yang sulit. Karyawan itu adalah seorang pria tua yang jauh lebih tua dari Roby Widjaja. Roby Widjaja hanya memiliki hubungan profesional dengannya di kantor tanpa ada hubungan pribadi. Setelah berpikir dua hari, Roby Widjaja memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Ia menyadari bahwa keputusannya untuk mengundurkan diri akan memaksanya berada dalam kondisi bertahan hidup lagi sambil berusaha mencari peluang — peluang bisnis atau pekerjaan baru.

He had to survive as a jobless again in Jakarta with about IDR 60 million cash. He met one of his female high-school friends in Jakarta by accident. She was jobless and looking for a new business or job opportunities too. They both met many times because they had the same problem, jobless and looking for a new business or job opportunities. After a long discussion and analysing many opportunities, They both decided to found a new startup company in Real Estate and Property Developer in Jakarta legally. Roby Widjaja was the CEO of the Company and She was the Chairman.

Ia harus bertahan hidup lagi sebagai pengangguran di Jakarta dengan uang tabungan sekitar Rp 60 juta. Ia kemudian bertemu secara tidak disengaja dengan salah satu teman SMA wanitanya di Jakarta. Teman wanitanya itu juga sedang tidak mempunyai pekerjaan dan mencari peluang — peluang bisnis atau pekerjaan baru. Mereka berdua menjadi sering bertemu karena memiliki masalah yang sama, sedang tidak memiliki pekerjaan dan mencari peluang — peluang bisnis atau pekerjaan baru. Setelah melalui diskusi yang panjang dan menganalisa banyak peluang, mereka berdua memutuskan untuk mendirikan sebuah perusahaan rintisan baru di bidang Pengembang Real Estate dan Properti di Jakarta secara hukum. Roby Widjaja menjadi Direktur Utama di perusahaan itu dan teman wanitanya menjadi Komisarisnya.

The total equity capital ( 100% equity, not loan ) investment was about IDR 100 million. IDR 30 million or 30% shares of the company were from Roby Widjaja, and the rest IDR 70 million or 70% shares of the company were from his friend. His friend, the Chairman, controlled finance and accounting. All expenses of the company were controlled 100% by the Chairman alone. Roby Widjaja did the daily operation of the company other than finance and accounting functions.

Total investasi modal saham ( 100% modal saham, tidak ada hutang kepada siapa pun ) di perusahaan itu sekitar Rp 100 juta. Rp 30 juta atau 30% saham perusahaan berasal dari Roby Widjaja, dan sisanya Rp 70 juta atau 70% saham perusahaan berasal dari temannya itu. Temannya, Sang Komisaris, mengontrol fungsi keuangan dan akuntansi. Semua biaya perusahaan dikontrol 100% oleh Sang Komisaris sendiri. Roby Widjaja mengerjakan operasional perusahaan sehari — hari selain fungsi keuangan dan akuntansi.

Roby Widjaja and his friend knew that IDR 100 million equity capital was not enough for a Real Estate and Property Developer company before they found the company. Their strategy was, they tried to find landowners who wanted to accept a profit-sharing cooperation system instead of just selling their land with 100% payment on the transaction day. It means they could eliminate the financial capital needed to buy the lands before the project development was started. They tried to find equity or profit-sharing investors to develop each project on each piece of lands. The strategy was simple and has been done successfully by many other successful Real Estate and Property Developers. That’s how and why they both dared to pursue Real Estate and Property Development projects which needed ten to many hundreds billions Rupiah financial capital with only IDR 100 million initial financial capital.

Roby Widjaja dan temannya mengetahui sebelum mendirikan perusahaan itu bahwa modal finansial sebesar Rp 100 juta itu tidak akan cukup untuk sebuah perusahaan pengembangan Real Estate dan Properti. Strategi mereka berdua adalah, mereka berusaha menemukan para pemilik tanah yang mau menerima sistem kerjasama bagi hasil dengan mereka, bukan sekedar menjual tanahnya dengan sistem pembayaran 100% di saat melakukan transaksi jual beli. Ini berarti mereka berdua bisa menghilangkan modal finansial yang dibutuhkan untuk membeli tanah sebelum proyek pembangunan dimulai. Mereka juga berusaha mendapatkan investor dengan sistem bagi hasil untuk membangun setiap proyek di atas setiap lahannya. Strategi itu sederhana sekali dan telah dilakukan dengan sukses oleh banyak Pengembang Real Estate dan Properti sukses. Itulah bagaimana dan mengapa mereka berdua berani untuk mengurus proyek — proyek Real Estate dan Properti yang membutuhkan modal 10 sampai ratusan milyar Rupiah untuk setiap satu proyeknya hanya dengan modal finansial awal Rp 100 juta.

They both wandered in Jakarta for more than 1 year looking for cooperative landowners and project development investors. They got many cooperative landowners who could accept to be paid by a profit-sharing system for their lands ( to be paid after the units of the real estate or property are sold ). The only problem was they couldn’t get any investors to start to develop their real estate or property projects. Nobody trusted them in Jakarta for many billions rupiah equity capital to develop their projects because they were just strangers in Jakarta society, had no proven track records in Real Estate and Property projects, or had no famous highly trusted reputable parents whom Jakarta society knew very well.

Mereka berdua berkelana di Jakarta selama lebih dari satu tahun mencari para pemilik tanah yang mau tanahnya dibeli dengan sistem bagi hasil dan investor untuk pembangunan proyek — proyeknya. Mereka mendapatkan banyak pemilik tanah yang mau tanahnya baru dibayar setelah ada unit — unit Real Estate atau Properti yang laku terjual dengan sistem bagi hasil. Satu — satunya masalah adalah mereka tidak berhasil mendapatkan investor satu pun untuk memulai pembangunan proyek — proyek Real Estate atau Properti nya. Tiada seorang pun di Jakarta yang mempercayakan modal finansial milyaran rupiah kepada mereka berdua untuk membangun proyek — proyeknya karena mereka adalah orang asing bagi masyarakat Jakarta, tidak mempunyai sejarah keberhasilan di dunia Real Estate dan Properti, atau tidak mempunyai orang tua yang sangat terkenal dan dipercaya oleh masyarakat Jakarta dengan baik.

Sewaktu saya sempat tinggal dan bekerja di Jakarta beberapa tahun lalu, saya sempat kenal dan berbincang santai dengan beberapa Eksekutif dari beberapa perusahaan developer real estate dan property kelas nasional. Mereka semua rata — rata berusia sekitar 50 tahun lebih dan sudah di puncak karir mereka sebagai profesional di perusahaan orang lain. Kalau mereka tidak piawai menjadi Nahkoda perusahaan orang lain, mana mungkin karir bisa tetap terus meningkat sampai ke level Eksekutif perusahaan berskala Nasional ? Ya, mereka semua bisa dikatakan ibarat para atlet juara di cabang olah raga Lari. Beberapa dari mereka ternyata sedang berusaha mendirikan perusahaan startup milik mereka sendiri di bidang bisnis yang sama, yaitu Developer Real Estate dan Property. Kalau dari sisi pengalaman kerja di bidang bisnis Developer Real Estate dan Property, mereka semua sudah memiliki pengalaman kerja puluhan tahun di bidang itu. Sewaktu mereka sedang mencari pendanaan baik dari perbankan maupun dari para investor untuk mendanai Mega Proyek — Mega Proyek milik perusahaan — perusahaan dimana mereka bekerja sebagai para Eksekutifnya, mereka semua bisa mendapatkannya dengan sangat mudah dan cepat, karena ada faktor nama besar dan sejarah perusahaan yang panjang dari perusahaan — perusahaan dimana mereka bekerja sebagai para Eksekutifnya. Namun, ketika beberapa Eksekutif yang sama ini berusaha mendapatkan pendanaan hanya untuk proyek — proyek kecil dan menengah milik perusahaan startup mereka sendiri, mereka belum berhasil mendapatkannya walaupun sudah bertahun — tahun mencobanya. Ya, itulah, para atlet juara cabang olah raga lari ini rupanya tidak sadar mereka sedang bertarung di ring tinju sebagai atlet cabang olah raga tinju “Founder dan CEO perusahaan startup”. Read also [ Baca Juga ]: Bekerja Di Perusahaan Orang Lain untuk Mendapatkan Pengalaman ? Hari Gini ?

After running out of cash, Roby Widjaja and his friend had to stop their business. No one single project was developed by them successfully because they never had the money from investors to start to develop it. That new startup company was a total failure with zero revenue. They spent most of their IDR 100 million equity capital for their basic living cost in the form of monthly salaries, basic business operational cost, lobbying and entertainment for landowners and social networking to reach potential investors, and legal services for checking the land ownership certificates originality.

Setelah kehabisan uang, Roby Widjaja dan temannya harus menghentikan bisnis mereka. Tiada satu pun proyek yang berhasil dibangun mereka karena mereka tidak pernah mendapatkan uang dari investor untuk memulai pembangunannya. Perusahaan rintisan baru itu adalah sebuah kegagalan total dengan pendapatan nol Rupiah selama beroperasi. Mereka menghabiskan mayoritas dari modal saham Rp 100 juta itu untuk biaya hidup dasar mereka berdua dalam bentuk gaji per bulan, biaya operasional dasar perusahaan, lobi dan hiburan untuk para pemilik tanah dan pergaulan sosial untuk menjangkau para investor potensial, dan biaya jasa hukum untuk memastikan keaslian sertifikat — sertifikat tanah itu.

There were no other choices for them, Roby Widjaja and his friend had to decide to go back to their parents’ houses in two different cities. The company was closed legally with no revenue, no loans, no third and other shareholders.

Tidak ada pilihan — pilihan lain bagi mereka berdua, Roby Widjaja dan temannya harus memutuskan untuk kembali ke rumah orang tua masing — masing di dua kota yang berbeda. Perusahaan itu akhirnya ditutup secara legal tanpa berhasil membukukan pendapatan, tanpa punya hutang, tanpa ada pemegang saham lain selain mereka berdua.

The life lessons Roby Widjaja learned from this period of his life was:

  1. Don’t take other people’s words, commitments, and promises too seriously until they are proven 100% physically, because too many times those are just empty words, commitments, or promises.
  2. Don’t be too loyal and give your 100% dedication to your Bosses as an employee no matter how kind or religious your Bosses are, they can just put you in a trash bin too easily when they dislike one single little nano thing of you. Many times a Boss can start to dislike you not because you are wrong or do a mistake, but because of many other reasons which are not related to your jobs and performance in the company. Be loyal and dedicated to your personal life goals, vision, missions, dreams, and purposes of life.
  3. Integrity, honesty, good attitude, good character, good personality, Good Corporate Governanceship, performance, and professionalism will be just nothing and forgotten easily by your Bosses once you can’t please them anymore or they start to dislike you because of one single little nano thing of you.
  4. If possible, as a man, don’t have a joint venture business with women, because they like to mix business with personal life issues. It will make your business and personal life complicated just like spaghetti served on a dish.
Spaghetti served on a dish. Sumber foto: https://unsplash.com/photos/98Xi5vMGKck

Pelajaran — pelajaran hidup yang dipelajari oleh Roby Widjaja dari periode ini dari hidupnya adalah:

  1. Jangan menanggapi kata — kata, komitmen — komitmen, dan janji — janji dari orang lain dengan terlalu serius sampai hal itu semua terbukti 100% secara fisik, karena terlalu sering semua hal itu hanya kata — kata, komitmen — komitmen, atau janji — janji kosong belaka.
  2. Jangan terlalu setia dan memberikan dedikasi 100% mu kepada para Boss sebagai seorang karyawan tidak peduli seberapa baik atau religius para Boss mu itu, mereka bisa dengan mudah sekali membuangmu di tong sampah ketika mereka mulai tidak menyukai sebutir debu dari dirimu. Seringkali seorang Boss dapat mulai tidak menyukaimu bukan karena kamu salah atau kamu melakukan sebuah kesalahan, tetapi karena alasan — alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanmu dan kinerjamu di perusahaan. Setialah dan berdedikasilah hanya kepada tujuan — tujuan hidup pribadimu, visimu, misi — misimu, mimpi — mimpimu, dan untuk apa kamu ada dan hidup di dunia ini.
  3. Integritas, kejujuran, sikap yang baik, karakter yang baik, kepribadian yang baik, tata kelola organisasi yang baik, kinerja, dan profesionalisme akan menjadi tidak ada artinya dan dilupakan dengan mudah sekali oleh para Boss mu sekali saja kamu sudah tidak bisa menyenangkan mereka lagi atau mereka mulai tidak menyukaimu karena sebutir debu dari dirimu.
  4. Kalau memungkinkan, sebagai seorang Pria, jangan melakukan kongsi bisnis dalam satu Perusahaan yang sama dengan para wanita, karena mereka suka mencampurkan urusan bisnis dengan urusan kehidupan pribadi. Hal ini akan membuat bisnismu dan kehidupan pribadimu menjadi kompleks ibarat pasta spageti yang dihidangkan pada sebuah piring ( alias ruwet atau mbulet dalam bahasa Jawa ).

This article was written by Roby Widjaja

Digital Marketing Specialist and Strategist, Website and Web Application Developer, Mobile Apps Developer, Market Researcher, Search Engine Optimization ( SEO ) Specialist, Digital Advertising Specialist, Social Media Management Specialist, Digital Content Creator, Digital Artist, Independent Writer, Graphic Designer, Videographer and Video Editor, 2D/3D Animator, Software Developer, Scientist, Thinker, and Entrepreneur.

Spesialis dan Pembuat Strategi Pemasaran Digital, Pengembang situs web dan aplikasi berbasis web, Pengembang Aplikasi Ponsel Cerdas, Spesialis Optimasi Mesin Pencarian, Spesialis Manajemen Iklan Digital, Spesialis Manajemen Akun Media Sosial, Kreator Konten Digital, Seniman Digital, Penulis Lepas Mandiri, Desainer Grafis, Videografer dan Editor Video, Kreator Animasi 2D/3D, Pengembang Perangkat Lunak Komputer, Ilmuwan, Pemikir, dan Wirausahawan.

100% Shareowner, Founder, and CEO of iMarketology and Arts-of-Life. Both iMarketology and Arts-of-Life haven’t been incorporated legally yet anywhere in this world.

Pemilik 100% Saham, Pendiri, dan Direktur Utama dari iMarketology dan Arts-of-Life. Baik iMarketology maupun Arts-of-Life belum dibuat badan hukumnya secara legal dimanapun juga di dunia ini.

Social Media: Instagram | Twitter | Facebook | Facebook Page | Linkedin

Wattpad

--

--

Roby Widjaja
Roby Widjaja

Written by Roby Widjaja

An Independent Writer. A Thinker. 100% Shareowner, Founder, and CEO of www.imarketology.net and www.arts-of-life.com ( It’s still in development phase ).

No responses yet