Seandainya Aku Seorang Rohaniwan

Roby Widjaja
12 min readNov 18, 2020

Ini bukanlah sebuah kritik sosial atau kritik untuk seseorang tertentu, namun ini adalah renungan pribadi saya, jalan spiritual pribadi saya, dan keprihatinan saya.

Photo by Jeremy Kuehn on Unsplash

Baca juga:

Kegalauan Dunia Diantara Agama dan Spiritualitas

Ketika Tuhan Yesus Kristus Dihina…

Dari sejak saya masih bersekolah di Sekolah Dasar sampai saya berusia sekitar 43 tahun ini, saya sudah sering dan banyak melihat konflik antara seorang Rohaniwan dengan Rohaniwan lainnya ( dalam satu Agama yang sama atau berbeda agama ) atau seorang Rohaniwan dengan orang biasa, di seluruh dunia.

Seandainya saya seorang Rohaniwan ( Agamanya bisa agama apa saja ). Seandainya saya memiliki ratusan bahkan beberapa juta umat fanatik. Setiap saya sedang bermain “Seandainya saya seorang…” seperti ini, saya selalu ingat lagu ini, “Andai Aku Jadi Orang Kaya” ( Oppie Andaresta ).

Ketika saya masih bersekolah di kelas 1 Sekolah Dasar, saya sudah menjadi seorang Katolik dan rutin mengikuti Sekolah Minggu ( sebuah kelas yang khusus mengajarkan ajaran Agama Katolik untuk anak — anak kecil setiap hari minggu, seminggu sekali ). Di Sekolah Minggu, saya sering menanyakan pertanyaan — pertanyaan konyol kepada guru sekolah minggu saya.

Contoh salah satu pertanyaan konyol saya adalah, “Apakah melakukan Masturbasi itu berdosa ? Kalau berdosa, mengapa Tuhan memberikan anugerah hawa nafsu seksual kepada manusia ?”. Tentu saja guru sekolah minggu saya heran ( heran karena pertanyaan seperti itu keluar dari seorang anak yang masih bersekolah di Sekolah Dasar ) mendengar pertanyaan saya itu dan kewalahan menjawabnya. Pertanyaan itu sebenarnya timbul setelah saya membaca sebuah buku tentang kisah nyata kesaksian hidup seorang Romo Katolik. Di buku itu, Romo Katolik itu mengakui bahwa ia sempat juga melakukan masturbasi beberapa kali selama menjadi Romo Katolik.

Contoh lain pertanyaan konyol saya adalah, “Bagaimana Anak — Anak Allah bisa mengawini anak — anak manusia ? Apakah mereka juga memiliki tubuh biologis seperti manusia ?”.

Contoh terakhir dari pertanyaan konyol saya, “Apakah Tuhan itu satu atau banyak ? Kalau Tuhan itu satu, mengapa ada banyak agama di dunia ini ?”.

Masih banyak pertanyaan — pertanyaan konyol saya lainnya pada masa itu. Bagi guru sekolah minggu saya, mungkin saja pertanyaan — pertanyaan saya itu dianggap ingin menguji guru, cari perhatian, atau kemungkinan lainnya. Bagi anak kecil seperti saya, semua pertanyaan itu sebenarnya hanyalah pelampiasan rasa penasaran saya setelah membaca berbagai buku dari perpustakaan sekolah maupun dari luar perpustakaan sekolah.

Ketika saya mulai bersekolah di SMP, saya mulai mengenal sejarah Gereja, Abad Kegelapan Eropa, dan Abad Pencerahan Eropa dari berbagai sumber. Pada jaman Abad Kegelapan di Eropa, banyak Ilmuwan Eropa yang dipenjara dan bahkan dihukum mati, karena hasil penemuan — penemuan ilmiahnya dianggap bertentangan dengan ajaran — ajaran dari Gereja Katolik. Salah satu Ilmuwan Eropa yang sempat diadili dan dihukum oleh Gereja Katolik adalah Copernicus.

Sejarah Gereja juga mencatat bahwa Gereja Kristen pertama di dunia adalah para kaum pemberontak yang melakukan kritik keras kepada Gereja Katolik dan memberontak terhadap Gereja Katolik. Pada masa itu memang banyak penyalahgunaan jabatan dan wewenang oleh para pejabat resmi Gereja Katolik.

Ketika saya bersekolah di SMA, saya secara tidak sengaja mendapatkan salinan catatan percakapan pengadilan Copernicus oleh Gereja Katolik. Pada bagian akhir catatan itu, Copernicus sempat mengeluarkan pernyataan pembelaan terakhirnya sebelum akhirnya dihukum oleh Gereja Katolik, yaitu kurang lebih seperti ini “Saya tidak menyangkali Kebenaran Iman Katolik dan Alkitab yang saya percaya. Namun, saya juga tidak bisa menyangkali kebenaran ilmiah dari penemuan — penemuan ilmiah saya”.

Pada masa kuliah saya di Universitas, saya juga sempat membaca sebuah artikel berita dari sebuah kantor berita internasional terpercaya. Artikel itu memberitakan tentang permintaan maaf terbuka oleh Paus Vatican ( Pemimpin Gereja Katolik seluruh dunia tertinggi ) yang ditujukan untuk semua keturunan dari para seniman dan ilmuwan yang pernah dihukum ( dipenjara atau dihukum mati ) oleh Gereja Katolik pada masa Abad Kegelapan di Eropa.

Belajar dari potongan singkat sejarah itu, akhirnya saya menjadi orang yang selalu mempertanyakan ulang beberapa kali kebenaran suatu informasi, data, atau berita yang saya dapatkan tentang apa pun atau siapa pun.

Saya memang tidak pernah mempertanyakan kebenaran Kitab Suci Agama. Namun, saya tetap selalu mempertanyakan ulang tafsir ayat — ayat Kitab Suci, pengajaran, fatwa, doktrin, tulisan, atau perkataan dari para Rohaniwan. Minimal, saya selalu menyisakan 1% keraguan dan mempertanyakan ulang kebenarannya, dan membiarkan 99% sisanya mempercayai kebenarannya.

Banyak hal di dunia ini yang sempat dianggap benar di masa lalu, namun akhirnya dianggap salah di masa sekarang. Demikian pula sebaliknya. Salah satu contohnya adalah beberapa anomali perilaku Photon dalam ilmu Quantum Physics. Beberapa anomali perilaku photon tersebut ternyata bertentangan dengan teori Gravitasi Klasik dari Isaac Newton.

Mengenai perdebatan antara Kaum Rohaniwan dengan Kaum Ilmuwan, tentang Iman Vs Sains, yang terjadi selama beberapa generasi dalam peradaban umat manusia, pada akhirnya saya berpendapat seperti ini.

Kaum Rohaniwan sering menganggap Kaum Ilmuwan sebagai Ateist. Kaum Ilmuwan sering menganggap Kaum Rohaniwan sebagai kurang banyak tahu.

Bagi saya, Kaum Rohaniwan ( disimbolkan sebagai A pada gambar di bawah ) dan Kaum Ilmuwan ( disimbolkan sebagai B pada gambar di bawah ) ibarat seperti dua golongan yang berjalan dalam satu garis lurus, dari dua ujung garis yang berbeda, menuju ke titik yang sama. Kalau masing — masing golongan mau sama — sama memperdalam ilmu Agama dan Sains secara bersamaan, maka pada akhirnya kedua golongan itu akan bertemu pada satu titik temu yang sama di tengah garis lurus itu.

Gambar Ilustrasi Kaum Rohaniwan ( A ) Vs Kaum Ilmuwan ( B )

Pertemuan kedua golongan pada titik temu yang sama di tengah adalah simbol bahwa sudah tidak ada lagi perdebatan dan pertentangan tentang Agama Vs Sains. Kebenaran — kebenaran dari Agama mendukung Kebenaran — kebenaran dari Sains, dan demikian juga sebaliknya.

Seandainya saya seorang Rohaniwan, saya tidak akan membakar api amarah umat saya dan memotivasi mereka untuk melakukan demonstrasi massa di tempat umum, merusak fasilitas umum dan property pribadi orang lain, membenci atau membunuh orang lain ( hanya karena berbeda aliran agama, agama, atau ras). Saya akan lebih memilih mengajarkan kepada umat saya untuk mengasihi orang lain dan “Fastabiqul Khoirot” ( frase dalam bahasa Arab, yang dalam bahasa Indonesia artinya “sebuah ajakan untuk berlomba — lomba dalam melakukan kebaikan”) tanpa memandang suku, agama, dan ras orang lain.

Seandainya saya seorang Rohaniwan, ketika saya sedang bepergian menggunakan transportasi umum ( bis, kereta api, atau pesawat ), saya akan melarang umat saya untuk mengantar atau menjemput saya beramai — ramai dalam jumlah puluhan bahkan ribuan orang ke atau dari stasiun atau bandara udara. Bagi saya, cukup 2 atau 3 orang saja yang mengantar atau menjemput saya. Saya tidak ingin melanggar hak orang lain dan mengganggu kenyamanan orang lain yang sama — sama sedang menggunakan fasilitas umum yang sama. Kalau umat saya tidak sabar ingin segera bertemu dengan saya, saya bisa memilih tempat pertemuan lain ( seperti lapangan sepak bola atau restoran yang besar misalnya ) yang jauh dari stasiun atau bandara udara.

Seandainya saya seorang Rohaniwan, saya juga tidak akan mengatakan bahwa seorang wanita itu “lonte” ( Pekerja Seks Komersial atau PSK ) di depan publik, walaupun mungkin atau seandainya saya tahu bahwa wanita itu memang pernah atau sedang bekerja sebagai PSK. Saya juga menyadari bahwa kata “lonte” memang mempunyai makna dasar yang sama dengan PSK, namun kata “lonte” itu lebih kasar dan mempunyai rasa tambahan berupa hinaan atau merendahkan derajat sosial seseorang. Oleh karena itu, saya akan menghindari memakai kata “lonte” dan memilih menggunakan frase PSK.

Saya juga menyadari bahwa membuka aib orang lain, baik itu aib lama maupun yang sedang terjadi, di depan publik untuk alasan dan tujuan apa pun adalah tidak baik.

Saya juga menyadari bahwa seorang wanita, walaupun pernah atau sedang menjadi PSK, ia juga adalah bagian dari kaum wanita secara keseluruhan di seluruh dunia. Sebagai seorang Rohaniwan saya harus menghargai wanita, siapapun orangnya, karena saya pun dilahirkan oleh seorang wanita.

Budaya Barat memiliki etika sosial yang sering disebut “Ladies First” dan “Chivalry Codes”. Etika sosial “Ladies First” dan “Chivalry Codes” mengajarkan para pria untuk memperlakukan para wanita dengan istimewa, baik, lembut, dan sopan. Sebagai seorang Rohaniwan, walaupun saya tahu itu budaya Barat, tidak ada salahnya saya mengadopsi budaya itu dan mengajarkannya kepada umat saya juga.

Sebagai Rohaniwan, saya juga menganut prinsip ini “The Saints was sinners, The Sinners deserve to have better future”. Dalam bahasa Indonesia, prinsip itu bisa diartikan sebagai “Para Orang — Orang Kudus juga punya dosa atau kesalahan di masa lalu, dan para Pendosa juga berhak untuk memiliki masa depan yang lebih baik”. Seorang wanita bisa saja pernah menjadi PSK di masa lalunya, tetapi yang saya lihat adalah masa sekarangnya. Seorang wanita bisa saja sedang menjadi PSK, tetapi yang saya lihat adalah masa depannya. Saya juga menganut prinsip bahwa manusia selalu berubah dan mengalami evolusi.

Sebagai Rohaniwan, saya juga menyadari bahwa tidak ada wanita di dunia ini yang dengan senang hati memutuskan menjadi PSK. Hanya ada dua alasan yang mendasari seorang wanita memutuskan menjadi PSK, tuntutan kebutuhan hidup yang mendesak atau gaya hidup. Apapun alasan seorang wanita menjadi PSK, mereka tidak membutuhkan dihina, direndahkan, diperlakukan tidak manusiawi, dihujat, atau direndahkan. Mereka membutuhkan uluran tangan bantuan dan jalan alternatif agar mereka bisa meningkatkan kesejahteraan finansial mereka tanpa harus menjadi PSK. Kalau sebagai Rohaniwan saya tidak mampu membantu dan memberikan jalan alternatif kepada mereka, saya lebih memilih diam dan berdoa agar mereka segera mendapatkan jalan terbaik untuk mereka, daripada saya menghina atau merendahkan mereka.

Sebagai Rohaniwan, saya juga belajar dari sejarah peradaban umat manusia, bahwa ternyata selama ini ada banyak juga orang — orang sukses di berbagai bidang yang berbeda di seluruh dunia, yang ternyata adalah anak kandung dari para mantan PSK atau pernah punya masa lalu menjadi PSK. Ada seorang wanita mantan PSK yang menjadi penulis buku Bestseller sukses. Ada juga kisah nyata tentang seorang Pendeta Kristen terkenal dan ia adalah anak kandung dari seorang mantan PSK.

Seandainya saya seorang Rohaniwan dan saya sedang diserang ( baik dengan perkataan atau perbuatan ) oleh Rohaniwan lain, saya lebih memilih untuk tidak membalas, memaafkan dan mengampuni orang itu, dan tidak menggugat orang itu secara hukum di pengadilan.

Sebagai seorang Rohaniwan tentu saya tahu persis Kemahakuasaan Tuhan dan para malaikatnya ( para mahkluk astral ). Saya tidak memerlukan bantuan seorang atau tim Pengacara yang adalah para manusia biasa untuk membela saya. Saya yakin, bahwa Tuhan dan para malaikatnya sanggup mengulangi terjadinya beberapa tulah di Mesir hanya untuk membela saya di hadapan orang lain, sekelompok orang lain, sebuah bangsa, atau bahkan bangsa — bangsa sekalipun.

Saya juga yakin bahwa Tuhan dan para malaikatnya sanggup mengulangi kejadian terjadinya banjir besar di jaman Nabi Nuh hanya untuk membela saya di hadapan orang lain, sekelompok orang lain, sebuah bangsa, atau bangsa — bangsa.

Saya juga yakin bahwa Tuhan dan para malaikatnya sanggup mengulangi kejadian Ananias dan Safira yang mati mendadak, hanya untuk membela saya di hadapan orang lain, sekelompok orang lain, sebuah bangsa, atau bahkan bangsa — bangsa.

Sebagai Rohaniwan, untuk apa saya harus mengandalkan pembelaan manusia, sekalipun ia atau mereka adalah para Pengacara Papan Atas Nasional ?

Sebagai Rohaniwan saya menyadari bahwa saya harus mempunyai hati dan pikiran seorang Pelayan yang Melayani umat, sama seperti kiasan dalam kisah Yesus Kristus membasuh kaki para muridNya.

Saya harus lebih fokus melayani umat dan sesama manusia daripada fokus mendapatkan ketenaran, penghasilan uang, penghormatan dari para manusia lain, menyerang Rohaniwan lainnya, dan berbagai hal duniawi lainnya.

Sebagai Rohaniwan, sekalipun seandainya saya adalah lulusan S-3 Pendidikan Formal Ilmu Agama, saya harus selalu menjaga hati dan pikiran saya tetap rendah hati, karena Tuhan pun juga telah merendahkan diriNya dengan menjadi manusia, Yesus Kristus, yang dilahirkan di tempat yang tidak terhormat, kandang hewan, bukan dilahirkan di dalam Istana Raja atau hotel yang mewah.

Mengenai kerendahan hati seorang Rohaniwan, saya selalu teringat sebuah video rekaman ceramah seorang Bhikku Buddha terkenal yang saya temukan secara tidak sengaja di YouTube. Dalam ceramahnya, Bhikku Buddha itu sempat mengatakan kepada para audiens nya kurang lebih seperti ini “…Kalau saya duduk di mimbar ini, sedang menggunakan jubah Bhikku, memberikan ceramah, bukan berarti saya pasti lebih baik dari kalian ( maksudnya adalah para pendengar ceramahnya ). Bisa saja salah satu atau beberapa dari kalian ternyata lebih baik dari saya dalam menjalankan ajaran — ajaran Buddha dalam kehidupan sehari — hari…”.

Sumber foto

Sekalipun seandainya saya Rohaniwan lulusan S-3 Pendidikan Formal Ilmu Agama, saya harus selalu rendah hati dengan selalu merasa bahwa sangat mungkin para Rohaniwan lain ( yang tidak memiliki gelar akademis pendidikan formal Ilmu Agama setinggi saya ), umat saya, orang lain secara luas, banyak yang lebih baik daripada saya dalam menjalankan ajaran — ajaran Agama saya dalam kehidupan sehari — hari. Saya juga sadar bahwa antara Tahu, Mengerti, dan Sudah Menjalankan ajaran — ajaran Agama saya itu tiga hal yang berbeda. Pendidikan Formal Ilmu Agama saya sampai jenjang S-3 adalah baru sebatas Tahu dan Mengerti ajaran — ajaran Agama saya, belum termasuk Sudah Menjalankan ajaran — ajaran Agama saya dalam kehidupan sehari — hari.

Sebagai Rohaniwan, daripada saya suka mengatakan “Kamu ( kalian ) adalah para calon penghuni neraka”, “Kamu ( kalian ) akan segera dilaknat Tuhan”, “Kamu ( kalian ) akan segera kena Azab dari Tuhan”, dan sejenisnya kepada orang lain, saya lebih memilih suka membimbing orang lain agar dijauhkan dari neraka, tidak dilaknat Tuhan, dan tidak kena Azab dari Tuhan.

Sebagai Rohaniwan, saya sadar bahwa tugas saya selama masih hidup di dunia adalah membimbing umat saya agar termasuk calon penghuni Surga dan dijauhkan dari neraka. Saya tidak berhak dan bukan tugas saya untuk menghakimi siapa para manusia yang menjadi calon penghuni Surga atau neraka.

Sebagai Rohaniwan, daripada saya suka mengajarkan “Bunuh atau penggal kepala orang itu ( mereka )”, “jadilah pelaku terorisme agar kamu ( kalian ) langsung masuk Surga setelah mati”, “Darah orang itu ( mereka ) dihalalkan”, dan sejenisnya, saya lebih memilih untuk mengajarkan “Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia”.

Saya sadar saya seorang Rohaniwan, bukan seorang pelatih Martial Arts atau pelatih para tentara militer.

Sebagai Rohaniwan, saya juga sadar bahwa saya mengajarkan kepada umat saya untuk menjadi para manusia yang sabar, lemah lembut, mengasihi sesama manusia secara universal ( tanpa memandang suku, agama, dan ras), mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan atau dosa orang lain, bukanlah sedang mendidik umat saya menjadi para manusia yang lemah.

Saya sadar bahwa orang yang kuat justru adalah orang yang sabar dan mudah memaafkan atau mengampuni orang lain. Orang yang lemah adalah orang yang mudah marah dan suka membalas dendam.

Sumber foto

Saya memang tidak pernah menjalani pendidikan formal ilmu Agama jenjang S-1, S-2, bahkan S-3. Saya hanya belajar ilmu Agama ( berbagai aliran kepercayaan dan agama yang pernah ada dan masih ada sampai saat ini ) secara otodidak dari berbagai sumber, seperti buku, artikel ( di internet dan media massa ), seminar, khotbah para Rohaniawan ( secara live, melalui TV dan media sosial ), acara retreat dan sejenisnya.

Puncak dari semua agama adalah Cinta Kasih dan Kasih Sayang kepada sesama manusia secara universal tanpa memandang suku, agama, dan ras. Tidak ada satu pun ajaran agama, yang pernah ada dan masih ada sampai saat ini, yang menentang atau mengharamkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang kepada sesama manusia secara universal.

Perlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Kasihilah sesamamu manusia, sama seperti kamu mengasihi dirimu sendiri. Dua prinsip ini juga secara universal diakui dan diterima semua agama dan aliran kepercayaan.

Renungan…

Saya akhirnya memutuskan untuk berhenti bermain “Seandainya Aku Seorang Rohaniwan”, sebab saya merasa saya masih terlalu hina, tidak layak, dan jauh dari sempurna untuk menyandang sebutan atau gelar Rohaniwan. Sebutan atau gelar Rohaniwan terlalu mulia untuk saya yang hina dan pendosa ini.

Aku memang manusia hina. Kandang hewan juga jauh lebih hina daripada Istana Raja yang megah dan mewah, Hotel Bintang Lima, dan Rumah Sakit Internasional untuk tempat bersalin.

Yesus Kristus, Tuhan yang merendahkan diri dan rela menjadi manusia, dilahirkan di tempat yang hina, sebuah kandang hewan.

[ Alkitab Katolik/Kristen, Matius 25:40 ]

Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

[ Alkitab Katolik/Kristen, Lukas 22:24–27 ]

Terjadilah juga pertengkaran di antara murid-murid Yesus, siapakah yang dapat dianggap terbesar di antara mereka.

Yesus berkata kepada mereka: “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung.

Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.

Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani ? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan.

[ Alkitab Katolik/Kristen, Lukas 14:11 ]

Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.

Ini Jalan Spiritual ku, Jalan Spiritual mu bagaimana ?

Tiba — tiba saja saya jadi teringat iklan Indomie yang bertema “Ini ceritaku, ceritamu mana ?”.

Catatan: Ini bukan iklan atau endorsement Indomie. Bagian ini hanya iseng dan bercanda, supaya anda tidak terlalu tegang dan serius setelah membaca artikel ini.

Artikel ini ditulis oleh Roby Widjaja,

Yang adalah Seorang Pemikir dan Sastrawan Jalanan,

Yang belajar ilmu Filsafat dan Seni Sastra secara otodidak dari berbagai sumber dan cara.

Spesialis dan Pembuat Strategi Pemasaran Digital, Pengembang situs web dan aplikasi berbasis web, Pengembang Aplikasi Ponsel Cerdas, Spesialis Optimasi Mesin Pencarian, Spesialis Manajemen Iklan Digital, Spesialis Manajemen Akun Media Sosial, Kreator Konten Digital, Seniman Digital, Penulis Lepas Mandiri, Desainer Grafis, Videografer dan Editor Video, Kreator Animasi 2D/3D, Pengembang Perangkat Lunak Komputer, Ilmuwan, Pemikir, dan Wirausahawan.

Pemilik 100% Saham, Pendiri, dan Direktur Utama dari iMarketology dan Arts-of-Life. Baik iMarketology maupun Arts-of-Life belum dibuat badan hukumnya secara legal dimanapun juga di dunia ini.

Social Media: Instagram | Twitter | Facebook | Facebook Page | Linkedin

Wattpad |

--

--

Roby Widjaja

An Independent Writer. A Thinker. 100% Shareowner, Founder, and CEO of www.imarketology.net and www.arts-of-life.com ( It’s still in development phase ).